Daeli adalah generasi terakhir yang bisa membuat kapal kayu di Kepulauan Hinako. Belum ada lagi anak muda di kepulauan dengan 12 desa itu yang tertarik menjadi pembuat kapal. Pada masa Daeli muda, ada sekitar lima pembuat kapal di Kepulauan Hinako.
Di samping itu, belakangan ini orang juga jarang mau membuat kapal kayu. Nelayan pun lebih menyukai kapal dari bahan fiber. Alasan mereka, kapal fiber lebih tahan lama meskipun bisa dikatakan lebih rentan oleh gelombang.
”Entahlah, mungkin nanti ada juga anak muda yang tertarik membuat kapal kayu,” ujar Daeli berharap.
Kapal ukuran delapan ton dengan tinggi sekitar 2 meter, panjang 14,5 meter, dan lebar 3 meter itu dikerjakan Daeli sendirian. Bisa dikatakan tidak ada yang membantunya membangun kapal tersebut.
Ia sendirian mendesain kapal, menyusun rangka, memasang papan-papan, mengetam kapal di dua sisi, melapisi dengan damar, dan mengecat badan kapal. Semua proses tersebut dia kerjakan selama empat hingga lima bulan. Daeli hanya dibantu tukang gergaji untuk memotong kayu sesuai kebutuhan.
Akhir Mei dia tengah menyelesaikan pekerjaan mengoles damar pada sambungan kayu yang sudah diberi kain goni. Kapal itu terlihat kokoh dengan kayu-kayu yang kuat. Bau harum kayu masih tercium saat orang mendekati kapal itu.
Setelah dilapisi damar, kapal bakal dilapisi lembaran seng, baru kemudian dicat. Biaya pembuatan satu kapal ukuran delapan ton itu Rp 70 juta dengan ketahanan kapal sampai 10 tahun.
”Kalau sedang tidak enak badan, ya saya istirahat dulu,” kata Daeli menerangkan sistem kerjanya. Dia biasa bekerja mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00.