Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembuat Kapal dari Kepulauan Hinako

Kompas.com - 11/06/2012, 03:56 WIB

OLEH AUFRIDA WISMI WARASTRI

Sebuah kapal kayu delapan ton yang sudah 70 persen rampung bersandar di pantai Pulau Asuh, Nias Barat, Sumatera Utara, sekitar akhir Mei. Itulah kapal kayu buatan Antonius Daeli. Pria itu adalah pembuat kapal terakhir yang dimiliki Kepulauan Hinako, gugusan delapan pulau yang ada di barat Pulau Nias di Samudra Hindia. 

Daeli adalah generasi terakhir yang bisa membuat kapal kayu di Kepulauan Hinako. Belum ada lagi anak muda di kepulauan dengan 12 desa itu yang tertarik menjadi pembuat kapal. Pada masa Daeli muda, ada sekitar lima pembuat kapal di Kepulauan Hinako.

Di samping itu, belakangan ini orang juga jarang mau membuat kapal kayu. Nelayan pun lebih menyukai kapal dari bahan fiber. Alasan mereka, kapal fiber lebih tahan lama meskipun bisa dikatakan lebih rentan oleh gelombang.

”Entahlah, mungkin nanti ada juga anak muda yang tertarik membuat kapal kayu,” ujar Daeli berharap.

Kapal ukuran delapan ton dengan tinggi sekitar 2 meter, panjang 14,5 meter, dan lebar 3 meter itu dikerjakan Daeli sendirian. Bisa dikatakan tidak ada yang membantunya membangun kapal tersebut.

Ia sendirian mendesain kapal, menyusun rangka, memasang papan-papan, mengetam kapal di dua sisi, melapisi dengan damar, dan mengecat badan kapal. Semua proses tersebut dia kerjakan selama empat hingga lima bulan. Daeli hanya dibantu tukang gergaji untuk memotong kayu sesuai kebutuhan.

Akhir Mei dia tengah menyelesaikan pekerjaan mengoles damar pada sambungan kayu yang sudah diberi kain goni. Kapal itu terlihat kokoh dengan kayu-kayu yang kuat. Bau harum kayu masih tercium saat orang mendekati kapal itu.

Setelah dilapisi damar, kapal bakal dilapisi lembaran seng, baru kemudian dicat. Biaya pembuatan satu kapal ukuran delapan ton itu Rp 70 juta dengan ketahanan kapal sampai 10 tahun.

”Kalau sedang tidak enak badan, ya saya istirahat dulu,” kata Daeli menerangkan sistem kerjanya. Dia biasa bekerja mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00.

Kayu setempat

Daeli tinggal di Desa Balewondate di Pulau Hinako, yang secara administratif termasuk Kecamatan Sirombu, Nias Barat. Jika diminta membuat kapal oleh pemesan, dia akan datang ke rumah sang pemesan.

Daeli akan tinggal di tempat sang pemesan, seperti yang dilakukannya saat ia berada di Pulau Asuh. Di tempat itu, dia mengerjakan kapal pesanan Edison Marunduri (48), penggiat pariwisata di Pulau Asuh.

Di Kepulauan Hinako, kayu relatif masih mudah dicari. Kayu-kayu itu tersebar di delapan pulau, yakni Pulau Heruanga, Pulau Langu, Pulau Begi, Pulau Hinako, Pulau Hamutala, Pulau Simana, Pulau Bawah, dan Pulau Asuh.

Untuk membuat rangka, Daeli menggunakan kayu setempat, warga menyebutnya sebagai kayu menawa. Kayu itu tahan air dan kuat. Sedangkan untuk papan penutup, dia menggunakan kayu ketapang, semacam kayu damar laut atau meranti yang lentur. Kayu ketapang itu dipotong berbentuk papan dengan panjang 15-17 meter.

”Banyak pohon yang masih tumbuh di sini dengan diameter sekitar satu meter. Pohon-pohon itu tumbuh di kebun penduduk,” kata Daeli. Untuk membuat satu kapal berukuran delapan ton, Daeli membutuhkan sekitar 50 batang pohon menawa dan 4 batang pohon ketapang.

Ironisnya, meskipun sekitar 75 persen penduduk Kepulauan Hinako bekerja sebagai nelayan, sangat sedikit dari para nelayan itu yang memesan kapal kepadanya. Sedangkan penduduk lainnya Kepulauan Hinako umumnya berpenghasilan dari bertani kopra.

”Paling-paling dalam satu tahun hanya satu pesanan kapal dari nelayan,” kata Daeli. Lebih banyak nelayan yang memesan kapal fiber karena bisa tahan 15 tahun, sedangkan kapal kayu buatan Daeli bertahan sekitar 10 tahun. ”Kapal kayu bisa lebih lama dipakai kalau perawatannya bagus,” tambahnya.

Kalau harga kapal kayu buatan Daeli sekitar Rp 70 juta, kapal fiber harganya bisa mencapai Rp 120 juta.

Menjadi pembantu

Daeli bercerita, dia mulai membuat kapal sejak tahun 2001. Awalnya, dia adalah tukang kayu bangunan. Daeli kemudian belajar kepada pembuat kapal asal Pulau Hinako bernama Hambali yang bekerja di Sibolga, selain kepada tukang pembuat perahu di Pulau Bawah.

Berawal dari sekadar menjadi pembantu bagi Hambali dalam mengerjakan pembuatan kapal kayu, lama- kelamaan Daeli mulai mengerti tahapan-tahapan dalam membuat kapal kayu. Dia kemudian bisa mengerjakan sendiri sebuah kapal kayu meski masih dalam pengawasan Hambali.

Ketika Hambali meninggal dunia, Daeli mulai bekerja sendirian. Bahkan kemudian dialah yang meneruskan profesi Hambali sebagai pembuat kapal.

”Orang yang bekerja sebagai tukang kayu bangunan memang banyak, tetapi orang yang mau membuat kapal itu sedikit jumlahnya,” kata Daeli menjelaskan alasannya beralih profesi dari tukang kayu bangunan menjadi pembuat kapal.

Jadilah sejak sekitar 11 tahun lalu, Daeli telah membuat delapan kapal. Kapal yang tengah dia buat kini adalah kapal pesanan kedua dari Edison Marunduri.

Sedangkan kapal pesanan Edison yang pertama adalah kapal penumpang. Kapal ini melayani transportasi utama masyarakat dari Sirombu di Pulau Nias ke pulau-pulau di Kepulauan Hinako.

Berbeda dengan kapal di Sibolga yang ramping, kapal-kapal untuk perairan Hinako bentuknya lebih gemuk dengan haluan yang tinggi. Bentuk kapal dibuat seperti itu supaya kuat dihantam gelombang yang bisa mencapai setinggi tiga meter.

Bagaimana cara Daeli mengukur haluan kapal? ”Saya memakai perasaan saja, antara arah jarum jam tiga dan jam dua,” katanya meyakinkan.

Beberapa tahun yang lalu ada bantuan 40 kapal dari pemerintah untuk para nelayan di Sirombu dan Hinako. Namun, bantuan tersebut mubazir karena tidak ada nelayan yang memakainya. Salah satu penyebabnya bentuk kapal tidak sesuai dengan kondisi laut setempat yang berombak besar.

”Ombak besar seperti ini yang justru dicari para peselancar dunia,” cerita Daeli tentang kondisi perairan sekitar Sirombu dan Hinako.

Hal yang kemudian terjadi adalah satu per satu peralatan komputer pencari ikan dan GPS yang ada di kapal tersebut dijual nelayan. Mereka melakukan hal itu karena para nelayan tidak bisa menggunakannya.

”Daripada (kapal itu) tidak terpakai, bukankah lebih baik kalau kita membuat kapal sendiri yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” kata Daeli yang tinggal di Desa Balewondate, Pulau Hinako, Kecamatan Sirombu, Nias Barat, Sumut, ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com