Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ikan-ikan Itu Menjauh...

Kompas.com - 02/05/2012, 04:32 WIB

Oleh Irene Sarwindaningrum

Matahari bersinar terik ketika perahu Akong (44) mendekati bibir Pantai Tanjung Pesona di kawasan pesisir timur Pulau Bangka. Dua kotak penampung tangkapan ikan ia turunkan. Kotak yang satu isinya tak penuh. Ia lalu membuka kotak yang satunya lagi. ”Kosong,” kata Akong seraya tertawa, seolah menertawakan kesialannya yang terus berulang. 

Hari itu, setelah melaut dari subuh hingga tengah hari, Akong, nelayan keturunan Tionghoa dari Desa Teluk Uber, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung (Babel), itu hanya bisa membawa pulang 4 kilogram (kg) ikan. Jika dijual ikan ini laku Rp 88.000. Setelah dikurangi modal, pendapatan bersihnya hari itu tinggal Rp 60.000. ”Sekarang ini hasilnya hanya segini ini tiap hari. Untuk makan saja kadang kurang,” katanya, akhir Februari lalu.

Sejak tiga tahun terakhir Akong mengaku semakin susah mencari ikan di laut timur Bangka. Padahal dulu, ikan begitu mudah diperoleh di perairan itu. Akhir-akhir ini ikan-ikan di perairan itu seolah menjauh, bahkan beberapa jenis ikan menghilang seiring beroperasinya tambang-tambang timah lepas pantai di kawasan itu.

Akhir-akhir ini Akong tak pernah lagi membawa pulang hasil yang memuaskan. Dulu cukup melaut dengan jarak 3-4 mil, dalam sehari hasil tangkapan Akong bisa mencapai 10 kg ikan. Saat ini tangkapannya rata-rata hanya 4 kg per hari. Itu pun harus melaut dengan jarak lebih jauh yaitu sekitar 7-10 mil.

Jarak melaut yang kian jauh itu membuat modal melaut melambung sehingga makin mengurangi pendapatan. Kebutuhan bensin bertambah dari 3 liter menjadi 5 liter untuk sekali melaut. ”Ikan-ikan itu sepertinya berenang makin jauh saja sekarang ini. Mungkin karena pantai di sini keruh,” tuturnya.

Limbah

Siang itu, dari Tanjung Pesona terlihat tiga kapal isap dan belasan ponton tambang inkonvensional (TI) tak henti mengeruk laut dari pagi hingga sore. Dari ekornya keluar limbah buangan (tailing) berupa pasir dan lumpur menyembur tanpa henti. Ini membuat air laut di sekelilingnya keruh. Para nelayan menduga keruhnya air laut tersebut membuat ikan-ikan menjauh.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Babel, Ratno Budi, selama periode tahun 2006-2011 terhitung 73 unit kapal isap beroperasi di sekitar Pulau Bangka yang menghasilkan limbah sedimentasi sebanyak 150 meter kubik per jam atau 70 juta meter kubik sedimentasi dalam setahun.

Penelitian peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung, Indra Ambalikasyari, juga menunjukkan kerusakan lingkungan di laut timur Bangka. Dari 30 titik terumbu karang yang ia teliti antara tahun 2007-2011, sebanyak 17 titik di antaranya rusak. Di Kabupaten Bangka Barat kerusakan terumbu karang mencapai 83,33 persen, di Kabupaten Bangka kerusakan mencapai 75 persen, di Bangka Selatan kerusakan mencapai 50 persen, dan di Bangka Tengah 22,22 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com