Sebulan terakhir sudah beberapa kali terjadi aksi penembakan warga. Dimulai dengan penembakan karyawan PT Satya Agung di Geureudong Pase, Aceh Utara, Senin (5/12) dini hari; diikuti penembakan pekerja galian kabel Telkom di Jeumpa, Bireuen, dan penembakan penjual boneka di Banda Aceh, Sabtu (31/1); penembakan warga di Langkahan, Aceh Utara, Minggu (1/1); dan terakhir pekerja bangunan di Simpang Aneuk Galong, Aceh Besar, Kamis (5/1).
Dari beberapa kejadian ini, mayoritas korban adalah etnis Jawa. Kita tidak bisa menduga apa alasan pelaku memilih korban dari etnis tertentu. Namun, satu hal membuat kita yakin: aksi ini tidak berdiri sendiri.
Dia tidak semata-mata terkait suhu politik Aceh (baca: pemilihan umum kepala daerah/pilkada) yang sedang memanas, tetapi bisa karena motif ekonomi. Namun, apa pun motifnya, kita menjadi sadar bahwa kitab konflik sedang ditulis kembali.
Pihak berwenang juga sulit mengungkap motif pelaku. Kejadiannya sering tak terduga, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Hingga kasus terakhir, belum satu pun pelaku ditangkap. Sangat misterius! Kondisi Aceh yang sedang memanas terkait kisruh pilkada juga menyulitkan pihak keamanan menganalisis siapa pelakunya.
Kejadian-kejadian tersebut membuat kita sadar bahwa Aceh sudah menjauh dari semangat perdamaian MOU Helsinki. Aceh hendak digiring menjadi lampoh soh (lahan kosong) sehingga siapa pun merasa bebas menciptakan kekacauan.
Aceh pernah menjadi lampoh soh (lahan kosong) saat daerah operasi militer dicabut pada Agustus 1998. Setelah TNI meninggalkan Aceh, Aceh menjadi lahan kosong yang diperebutkan siapa saja, termasuk yang berniat membuat kekacauan.
Istilah lampoh soh diperkenalkan sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid (tabloid Kontras, 1998). Menurut dia, Aceh yang baru lepas dari cengkeraman militer berpotensi menjadi lampoh soh untuk digarap oleh siapa saja, termasuk oleh provokator dan orang tak dikenal.