JAKARTA, KOMPAS.com —- Mahkamah Agung berencana mengumpulkan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah.
Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan, rencana tersebut merupakan salah satu langkah MA menanggapi maraknya vonis bebas terdakwa korupsi, yang dikeluarkan hakim ad hoc pengadilan tipikor di daerah.
"Menanggapi maraknya vonis bebas dari hakim-hakim ad hoc itu, hari Minggu (13/11/2011) kami akan kumpulkan hakim-hakim ad hoc tipikor daerah untuk diberikan pendalaman terhadap tindak pidana korupsi," ujar Harifin kepada wartawan di Gedung MA, Jakarta, Rabu (9/11/2011).
Harifin menuturkan, pendalaman materi tersebut akan dilasungkan selama sepekan hingga Minggu (20/11/2011). Menurut dia, acara pendalaman materi tersebut akan diikuti oleh semua hakim ad hoc pengadilan tipikor di daerah.
"Semuanya ikut. Kalau untuk hakim tingkat pertama itu berjumlah 122 orang. Itu baru tingkat pertama, belum tingkat yang lain. Pokoknya semua akan mengikuti acara itu," kata Harifin.
Pengadilan tipikor daerah tengah menjadi sorotan masyarakat karena maraknya vonis bebas terhadap koruptor yang dikeluarkan majelis hakim di sana. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sebanyak 40 terdakwa kasus korupsi divonis bebas di pengadilan tipikor daerah.
Berdasarkan catatan ICW, 40 vonis bebas itu terdiri dari empat vonis bebas di Bandung, satu di Semarang, 14 Samarinda, dan 21 Surabaya. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyarankan agar pengadilan tipikor di daerah dibubarkan. Pasalnya, maraknya vonis bebas para koruptor di daerah terjadi buruknya kinerja pengadilan tipikor daerah.
Menurut Mahfud, hakim-hakim ad hoc pengadilan daerah tidak memiliki kompetensi penguasaan hukum materi yang baik dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Terlebih dikatakan Mahfud, seleksi terhadap hakim pengadilan tipikor di daerah dilakukan asal-asalan.
Malah, kata dia, kesannya hanya diperuntukkan bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan. "Seleksinya tidak selektif dan ketat sehingga terkesan hakim pengadilan tipikor daerah ini hanya pencari pekerjaan, lalu banyak bersekongkol dan profesionalitasnya tak ada," kata Mahfud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.