Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bertahun-tahun Menunggu Darsem Pulang

Kompas.com - 23/06/2011, 04:12 WIB

Oleh Mukhamad Kurniawan

Di pundak buyutnya, Carmen binti Raji (70), Safi’i (5) menggelendot minta uang jajan, Rabu (22/6). Berulang kali dia meminta dengan nada memelas. Namun, Carmen mengabaikannya. Anak semata wayang Darsem binti Dawud Tawar (25) itu pun menangis kencang. 

Dengan wajah marah, Safi’i bergegas mengambil sepeda birunya, lantas pergi meninggalkan rumah. ”Saya sendiri tidak bisa menahan air mata karena ingat Darsem. Ora pengen dahar, mbokan emak mati. Darsem ora weruh, incu hiji-hijina (enggak doyan makan, barangkali saya mati. Darsem tak lihat, dia cucu satu-satunya),” kata Carmen lirih dengan logat khas pesisir utara Subang-Indramayu.

Mata Carmen sembab. Beberapa kali dia memegang dada dan menghirup udara dalam-dalam karena sesak napas. Dia mengaku sering sakit-sakitan sejak mendengar kabar Darsem terjerat masalah dan dipenjara Pemerintah Arab Saudi tahun 2007.

Darsem, buruh migran asal Kampung Truntum RT 9 RW 4 Desa Patimban, Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat, dinyatakan terbukti bersalah membunuh majikannya pada Desember 2007. Pembunuhan terjadi karena Darsem membela diri saat akan diperkosa. Namun, pengadilan di Riyadh, Arab Saudi, menjatuhkan vonis mati kepada Darsem pada 6 Mei 2009.

Berkat bantuan Lajnah Islah (Komisi Jasa Baik untuk Perdamaian dan Pemberian Maaf) Riyadh dan pejabat Gubernur Riyadh, Darsem mendapat pemaafan. Pada 7 Januari 2011, ahli waris korban, Asim bin Sali Assegaf, memberikan maaf kepada Darsem, tetapi meminta uang kompensasi diyat sebesar 2 juta riyal atau sekitar Rp 4,7 miliar (Kompas, 7/3).

Kabar soal Darsem pun menyebar luas. Sejumlah kalangan bersimpati dan tergerak mengumpulkan sumbangan. Pemerintah Indonesia berjanji membantu Darsem dengan membayar diyat (uang darah). Bahkan, beredar kabar dermawan di Arab Saudi akan membantu pembayaran diyat.

”Sudah ramai dibicarakan dan bikin saya sakit setiap kali mendengarnya, tetapi sampai saat ini Darsem belum juga pulang. Semua terasa tidak berarti selain kepulangan Darsem,” kata Carmen, ibu kandung Dawud Tawar (55), dalam bahasa pantura.

Dawud sendiri pontang-panting mengurus Darsem. Setidaknya dia harus pergi-pulang Subang-Jakarta. Belakangan, saat kasus buruh migran Ruyati binti Satubi yang juga dijatuhi hukuman mati mencuat, Dawud sibuk melayani permintaan wawancara dan panggilan instansi terkait. Pekerjaan sebagai nelayan terganggu. Demikian pula ternak bebek skala kecil yang dirintisnya beberapa bulan lalu.

Sebelum beternak bebek, Dawud adalah nelayan dengan penghasilan tidak menentu. Menurut Carwa (39), saudara ipar Darsem, hasil tangkapan rebon (udang kecil) hanya berkisar 5-10 kilogram per hari yang laku dijual Rp 2.000 per kilogram. Sawinah (55), istrinya, bekerja serabutan sebagai buruh tani, kuli di tempat pengolahan ikan, dan pemungut rongsokan dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 10.000 per hari.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com