Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Syarifuddin Diduga Terlibat Mafia

Kompas.com - 05/06/2011, 21:14 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Syarifudin, diduga merupakan bagian dari mafia peradilan di Indonesia. Beberapa kejanggalan terkait penempatan hakim asal Makassar tersebut diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, Minggu (5/6/2011), di kantor ICW, Jakarta.

"Modus mafia peradilan bisa saja terjadi dalam kasus hakim. Fenomena hakim S ada catatan soal ini, dia terkait proses-proses sebelumnya. Kenapa hakim dari daerah bisa masuk ke pengadilan negeri di Jakarta? Ini bukan hal mudah," ungkap Febri.

Dikatakan Febri, Syarifuddin sebelumnya menjadi hakim di Makassar. Namun, baru beberapa waktu ini dipindahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Dari info yang kami temukan, hakim sulit masuk pengadilan di Jakarta. Apalagi, Hakim S yang punya record yang dipertanyakan saat di Makassar kenapa bisa masuk di PN Jakarta Pusat?" ujarnya.

Di tahun 2009, Syarifuddin bahkan sempat diajukan sebagai hakim Tipikor karena memiliki sertifikat sebagai hakim tipikor. "Mahkamah Agung (MA) harus introspeksi bener nggak hakim-hakim tipikor dan sertifikasinya itu benar? Karena hakim S adalah seorang hakim bersertifikat hakim tipikor tapi buktinya korupsinya tetap jalan," ucap Febri.

Menurut Febri, praktek mafia tersebut tidak boleh terulang lagi karena hakim-hakim sudah mendapatkan remunerasi. Mafia peradilan, dikatakannya, bukan hanya terjadi pada tahap beracara saja tetapi juga soal penempatan, penunjukkan, promosi, hingga mutasi hakim.

"Seluruh hal ini merupakan PR serius bagi KPK, MA, dan KY," ucap Febri. KY berkewajiban dan harus memeriksa majelis hakim lainnya dan harus selidiki temuan tata persidangan Agusrin di mana hakim Syarifuddin menjadi ketua majelis hakimnya. "KY harus berpengaruh signifikan pada pembersihan peradilan," ungkap Febri.

Selain itu, melihat jumlah uang yang dimiliki hakim Syarifuddin, Febri menekankan bahwa KPK jangan hanya menerapkan undang-undang Tipikor dalam kasus Syarifuddin. "KPK bisa terapkan Undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencucian uang dalam kasus hakim S," kata Febri.

Dengan undang-undang pencucian uang, maka hakim memiliki cara untuk melakukan pembalikan pembuktian terhadap kekayaan yang dimiliki hakim Syarifuddin. "Para terdakwa wajib membuktikan dari mana asal usul uang itu. Kalau tidak bisa dibuktikan, semua kekayaan hakim bisa dirampas negara. Ini kesempatan penting dan tentu saja harus bergandengan tangan dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)," tandas Febri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com