Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Proyeksi Politik PKS 2014

Kompas.com - 21/01/2011, 10:25 WIB

Oleh Anita Yossihara/Nur Hidayati/Subhan SD

Partai Keadilan Sejahtera adalah partai tengah yang menjadi anggota Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono. Namun, bukan berarti kader-kader PKS di parlemen tidak kritis kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bagaimana sesungguhnya posisi PKS terhadap pemerintahan?

Berikut pandangan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dalam wawancara dengan Kompas di Kantor DPP PKS di kawasan Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu:

Bagaimana mekanisme penjaringan pemimpin di PKS?

Kami mengawali gagasan penjaringan. Jadi, semua partai harus mulai menjaring siapa tokoh internal yang layak orbit biar diadu di lapangan. Kalau di sistem parlementer, kan, harus fight dulu, kita, sih, kan, enggak. Namun, setidaknya, biarkan orang lain tahu. Jangan last minute tiba-tiba muncul. Kita enggak punya pilihan lain, terpaksa memilih. Ironis kalau begitu.

Pilpres 2014 sudah dekat. Apa yang dilakukan parpol-parpol untuk kepemimpinan nasional?

Kita sudah matang berdemokrasi karena sudah 12 tahun lebih kita reformasi dengan keterbukaan, dengan sikap masyarakat yang diberi akses langsung, tak disekat-sekat seperti masa Orba. Saya kira sudah cukuplah. Kita berharap ke depan tokoh-tokoh kita benar-benar yang sudah teruji di lapangan, terbukti sukses, punya rekam jejak dalam menyelesaikan berbagai masalah.

PKS punya persiapan pada 2011?

Kami mengevaluasi dan mencoba melihat potensi dan semacam penelusuran bakat. Ada enggak yang punya bakat. Harus kita lihat dari berbagai aspek, dari sisi wawasan, kemampuan, kapasitas eksekusinya, dan sebagainya. Dengan demikian, bukan hanya PKS, kita berharap semua elemen bangsa mengorbitkan.

Tahun 2011, saya berharap masing-masing mengelus, memunculkan jagonya. Jadi, kita lontarkan semuanya, jangan malu-malu menyebutkan. PKS memang belum ada yang disebut. Bukan malu-malu, kami belum siap, mengukur, tahu dirilah.

Namun, PKS sangat diperhitungkan dan sangat merepotkan. Misalnya di Setgab?

Seluruh partai koalisi sudah teken kontrak politik dengan Pak SBY, satu di antaranya membentuk forum untuk membicarakan masalah nasional. Setelah satu tahun muncullah Setgab. Ini, kan, bagus. Namun, kemudian di lapangan ada evaluasi terhadap kinerja Setgab. Tujuannya untuk memperbaiki kinerja koalisi. Ini, kan, subordinatnya, bukan koalisinya.

Kita berharap dengan efektifnya pola manajemen di Setgab, koalisi menjadi semakin kuat. Namun, begitu dilontarkan evaluasi terhadap kinerja Setgab, seolah-olah kita ini akan memorakporandakan koalisi. Ini, kan, cara berpikir terbalik.

Kalaupun ada lontaran yang menohok, itu bukan dalam rangka menghantam. Ini, kan, institusi yang dibuat oleh koalisi. Ini yang dibenahi. Masak pintu rusak, bangunannya dirobohin? Benerin saja pintunya, gemboknya, kuncinya diperbaiki. Apakah kalau sudah bersama enggak saling mengkritisi? Suami-istri saja saling mengkritisi. Kan, biasa saja.

Mekanisme itu tidak pernah dibahas?

Tidak pernah. Makanya, itu yang kami kritisi. Harusnya ada pola yang lebih efektif dan efisien. Jangan kita dikaget-kagetkan dengan isu. Tiba-tiba, Setgab sudah sepakat dengan pemerintah. Kapan kita bertemu?

Memang di Setgab partai-partai anggota tidak diajak ngobrol?

Itu sudah ramai dibicarakan. Pak Anis (Matta, Sekjen PKS) pernah bilang, Setgab seharusnya jadi dapur. Jadi, harus digodok bersama. Setelah kita menggodok dan seluruh aspirasi diungkapkan, lalu kemudian kita melontarkan konsensus, semuanya sudah share dalam menggodok. Bukan sebelum matang lalu disajikan. Nanti orang yang makan bisa sakit perut.

Setelah kontrak selesai 2014, rencananya seperti apa?

Ya, sudah, kan, kita per lima tahun saja.

Apakah akan mencalonkan sendiri atau berkoalisi?

Kita lihat konstelasi politik ke depan. Biasanya siapa partai pemenang pemilu, komposisi partai-partai seperti apa. Terus sekarang kita mungkin akan mulai meluncurkan tokoh-tokoh, pilihannya itu. Dulu kita meluncurkan delapan kandidat, yang siap mendampingi siapa pun. Namun, delapan kandidat enggak ada yang laku, ya, sudah. Kita rasional saja.

Ada rencana lain? Misal kalau PKS menang, ada tokoh ini, kalau kalah, tokoh lainnya?

Pada akhirnya pasangan capres-cawapres ada unsur chemistry juga. Jadi, enggak bisa subyektif, kita yang memaksakan. Pada akhirnya mereka pilih sendiri-sendiri. Yang penting orbit dulu. Biarkan kinerjanya dibaca orang, biarkan berinteraksi, nanti tinggal kita lihat. Dulu berapa banyak yang ingin dilamar menjadi cawapresnya Pak SBY, tetapi tak ada satu pun yang dipilih. Justru yang dipilih orang yang sama sekali tidak pernah diorbitkan. Ya, sudah, chemistry-nya dengan dia.

Demokrasi sekarang karut-marut, banyak transaksional. PKS, kan, bagian dalam demokrasi itu. Bagaimana memperkuat demokrasi atau mengeliminasi dampak demokrasi itu?

Itu dia, ini sekarang ada sisi-sisi kelemahan yang harus dicarikan solusinya bersama. Seperti popularitas dan peran media untuk mengorbitkan seseorang, kadang-kadang, kan, ada yang berdasarkan rekam jejak dan kapabilitasnya sehingga dia dijagokan oleh media, ada yang karena ada aktivitasnya. Ada pula yang karena kemampuannya membayar iklan.

Nah, harusnya menurut saya pribadi yang dua pertama ini; karena itu memang assessment dari media tentang kapasitas dan kapabilitas atau karena aktivitas dia di lapangan sehingga diliput, ini yang harus jadi prioritas. Kalau iklan, kan, karena punya duit. Bayarnya, kan, mahal. Kalau dimaknai bahwa popularitas dan elektabilitas itu base on activity, itu akan menarik.

Namun, kalau base on iklan, itu beda. Kalau iklan, bergerak pun diatur, pencitraan. Kan, enggak beda kita dari bintang sinetron. Diatur, diajari cara akting. Karakternya bukan dia, tetapi supaya berkarakter seperti itu. Nanti kalau sudah selesai, ya, sudah kembali ke asal. Ya, ini menurut saya sisi yang harus dibenahi supaya demokratisasi kualitasnya semakin tinggi.

Peta politik ke depan ini akan seperti apa? Butuh pemerintah atau pemimpin yang kuat, kan?

Saya rasa, untuk Indonesia dengan teritorial yang sedemikian luas serta dengan bangsa dan rakyat yang sedemikian banyak, kita tidak bisa mengandalkan kepada person, tetapi kerja kolektif, tim, dari berbagai kemampuan.


LUTHFI HASAN ISHAAQ

Tempat Tanggal Lahir:
Kota Malang, Jawa Timur, 5 Agustus 1961

Pendidikan:
  • Fakultas Ushuluddin Universitas Ibnu Saud, Riyadh, Arab Saudi
  • Master of Arts (MA) in Islamic Studie Salafia University, Pakistas
Jabatan:
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 2010-1015
 
Perjalanan Karier
  • Penerjemah Institute Policy Studies Arab-Inggris
  • Public Relation Islamic Organization Union
  • Direktur PT Sirat Inti Buana
  • Ketua Yayasan Al-Amanah
  • Sekretaris Jendral Partai Keadilan
  • Bendahara Umum DPP PKS (2003-2005)
  • Ketua Badan Hubungan Luar Negeri PKS
  • DPR dari PKS dua periode (2004-2009), (2009-2014)
  • Presiden PKS (2010-2015)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


::Besok: Hatta Rajasa::

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

    Nasional
    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Nasional
    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

    Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

    Nasional
    Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com