Bagi saya, Bahasyim berbeda dengan para pejabat pajak pada masa lalu yang pandai menyembunyikan kekayaannya, Bahasyim terlihat enteng memamerkan apa yang ia miliki. Belanjanya pun terbuka.
Rumah di Menteng yang disebut-sebut koran, sudah lama ia tunjukkan kepada kenalan-kenalannya. Akan tetapi, begitu disebutkan kekayaannya mendekati satu triliun rupiah, semua orang pasti terbelalak. Sebegitu mudahkah seseorang memupuk kekayaan?
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah tindakan Kartini Mulyadi yang menyerahkan uang satu miliar rupiah agar perusahaannya tidak diganggu masalah pajak oleh terdakwa (Kompas.com, 30/9).
Mengejutkan bagi saya, karena ahli hukum yang satu ini adalah penjaga peraturan. Bicaranya selalu soal peraturan dan integritas. Wajahnya tidak mudah diajak tersenyum, apalagi kompromi.
Boleh dibilang, Universitas Indonesia di era Kartini Mulyadi sebagai anggota dan ketua Majelis Wali Amanah lebih mengutamakan peraturan tertulis daripada terobosan. Inisiatif dan kreativitas harus mengalah agar semua berjalan di atas rel hukum yang benar. Ada yang setuju karena patuh terhadap hukum adalah penting, tapi bagi yang ingin lari cepat pastilah terhambat.
Ibarat tarian yang dimainkan sepasang suami-istri, maka korupsi pun memiliki iramanya sendiri. It takes two to tango! Butuh dua pihak yang saling bekerja sama seperti yang sering diucapkan Bang Napi di televisi: ”Ingat! Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tetapi juga karena ada kesempatan!”
Ada pemeras saja tidak cukup. Pemerasan baru terjadi bila ada pihak yang mau diperas.