Oleh: Wisnu Dewabrata
KOMPAS.com - ”Kau yang mulai, kau yang mengakhiri....” Seolah ingin meniru lantunan lirik lagu dangdut yang sempat sangat populer pada era 1990-an itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta semua pihak berhenti memolemikkan wacana pemulihan hak pilih prajurit Tentara Nasional Indonesia.
Sebelumnya, akhir pekan lalu, saat berada di Istana Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Presiden di depan wartawan melontarkan sejumlah pendapat terkait isu aktual. Presiden juga menyoroti tentang hak memilih bagi prajurit TNI dan Polri.
Seperti diwartakan, Presiden Yudhoyono meminta masyarakat tidak mengebiri hak politik anggota TNI/Polri. Ia memaklumi masih banyak kekhawatiran jika sampai hal itu memicu perpecahan di kalangan prajurit yang bersenjata.
Pendapat pro dan kontra pun bergulir, baik dari kalangan parlemen dan partai politik, akademisi, maupun berbagai elemen masyarakat sipil lain. Mereka yang pro memandang prajurit TNI/Polri juga warga negara Indonesia, yang mempunyai hak politik untuk memilih.
Sepanjang ada aturan main dan penerapannya yang tegas, keterlibatan prajurit TNI/Polri dalam memilih dalam pemilu ataupun pemilu kepala daerah (pilkada) diyakini tak akan ada masalah. Mereka yang kontra juga punya sederet panjang alasan mengapa prajurit TNI/Polri jangan memilih dahulu.
Kekhawatiran utama, prajurit TNI/Polri bakal terpecah belah dalam preferensi politik berbeda saat terlibat dalam hiruk-pikuk pemilu. Apalagi banyak kalangan memahami, peta serta perilaku perpolitikan di Indonesia bukan kertas putih bersih dan tak bernoda.
Perilaku berpolitik di negara ini masih kerap diwarnai praktik kongkalikong, politik uang, intrik kekuasaan, koncoisme, serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dengan kondisi kesejahteraan yang masih terus kekurangan, akibat terbatasnya kemampuan anggaran negara, prajurit TNI/Polri ditakutkan bakal mudah diperalat dan dipecah belah.
Apalagi mereka secara legal adalah warga negara yang dipersenjatai dan diberi kewenangan menggunakan kekerasan. Bisa dibayangkan bagaimana khawatirnya masyarakat awam jika terjadi perpecahan di antara kaum bersenjata itu.
Belum lagi pertanyaan tentang kesiapan mereka berdemokrasi. Tentu bukan perkara mudah untuk itu, mengingat prajurit TNI didoktrin untuk punya loyalitas tegak lurus kepada atasan serta patuh pada rantai komando. Doktrin itu tentunya sudah mendarah daging.