Oleh Sindhunata
Sri, kapan kowe bali. Kowe lunga ora pamit aku. Jarene neng pasar pamit tuku trasi. Nganti saiki kowe durung bali (Sri, kapan kau kembali/Kau pergi tanpa pamit kepadaku/Katamu kau pergi ke pasar hendak beli terasi/Ternyata sampai kini kau belum kembali).
Itulah bait pertama lagu "Sri Minggat" ciptaan Sonny Josz. Lagu ini menceritakan seorang lelaki yang ditinggal minggat kekasihnya. Lelaki itu sedih dan meratap, mengapa Sri, kekasihnya, tega meninggalkannya. Ia tak tahu di mana Sri sekarang. Ia hanya bisa melampiaskan rindunya dengan menyanyi: Sri, kapan kau kembali?
"Sri Minggat", lagu campur sari yang bernada dangdut itu, sangat populer di kampung-kampung dan desa-desa Jawa sekitar empat tahun lalu. Pernah, pada suatu malam menjelang perayaan 17 Agustus, penulis ikut melebur bersama sekelompok sopir dan kenek angkutan kota, kuli, pemulung, dan nelayan yang menyanyikan lagu "Sri Minggat" di tepi Pantai Kenjeran, Surabaya. Dengan tape recorder sederhana, lagu itu diputar berulang kali. Orang-orang kecil itu berjoget mengikutinya.
Di tengah keadaan demikian, "Sri Minggat" tak lagi terasa sebagai lagu tentang seorang lelaki yang ditinggal kekasihnya. Di sana, "Sri Minggat" serasa terdengar sebagai jeritan rakyat kecil yang tak pernah merasakan buah kemerdekaan. Maklum, lagu itu terdengar di tengah orang-orang sedang tirakatan menyambut hari kemerdekaan 17 Agustus.
Rakyat kecil itu seperti ditinggalkan oleh kemerdekaan dan, ketika mereka menyanyikan bait Sri kapan kowe bali, suara mereka seakan bertanya kapan kemerdekaan akan kembali.
Buat orang Jawa, Sri bukan sekadar nama wanita. Sri adalah kultur. Itulah yang termaktub dalam mitos Dewi Sri, dewi kesuburan, ibu petani Jawa.
Tak seperti dewi lain yang lahir dalam kemuliaan, Sri lahir dari kemiskinan dan kesedihan. Seekor naga dari dunia bawah tanah bernama Dewa Anta menitikkan air mata. Air mata itu kemudian berubah menjadi telur-telur. Satu telur itu pecah dan darinya lahir putri jelita, Dewi Sri namanya. Ini semua adalah lambang bahwa Sri adalah anak yang dilahirkan dari keprihatinan dan kemiskinan bumi.
Dikotomi kultur-nonkultur
Dalam etnologi, perempuan sering dianggap sebagai "unsur kultur", yang berhadapan secara dikotomis dengan lelaki sebagai "unsur nonkultur". Manusia memang mempunyai kecenderungan untuk menjadi barbar dan antikultur. Bila demikian, Bumi yang dilambangkan sebagai perempuan jelita akan menjadi korbannya.