Semula dia malu menjadi anak perajin wayang golek. Namun, kemudian terbukti justru wayang golek-lah yang membuat Enday Media bisa membeli rumah dan mencukupi kebutuhan keluarga besarnya.
”Wayang golek yang dibuat berhari-hari itu susah dijual. Sebulan hanya laku sekitar empat buah, harganya ketika itu Rp 1.000,” cerita Enday tentang kondisi tahun 1970-an itu. Pesanan terbanyak yang diingatnya adalah dari Presiden Soeharto pada 1972, yakni 120 buah wayang golek.
Padahal menjadi perajin wayang golek bisa dikatakan sebagai satu-satunya keahlian Entang. Sejak tahun 1960-an dia berusaha keras menghidupi keluarga dengan membuat wayang golek di Desa Sukamantri, di kaki Gunung Salak, Bogor.
Mengalami sendiri sulitnya kehidupan perajin wayang golek membuat Enday tak ingin menjadi penerus jejak sang ayah. Meskipun sebenarnya sejak masih duduk di bangku SMP, dia sudah piawai membuat wayang golek.
Oleh karena itu, begitu lulus dari SMA, Enday langsung mencari pekerjaan lain. Dia tidak berminat untuk lebih mengembangkan kepandaiannya membuat wayang golek.
”Begitu lulus SMA tahun 1993, saya memilih bekerja di sebuah hotel di Kota Bogor. Pekerjaan ini menjadi pilihan utama saya karena mendapatkan uang dari gaji rutin bulanan itu lebih menjamin kehidupan keluarga,” ujarnya.
Entang tidak menghalangi keinginan sang anak. Meski tahu Enday punya kemampuan sebagai perajin wayang golek, dia memutuskan untuk menerima apa pun keputusan sang anak.
Bertahun-tahun bekerja sebagai karyawan rupanya tidak membuat Enday sepenuhnya meninggalkan dunia wayang golek. Pada waktu senggang dia tetap membantu Entang membuat wayang golek.