Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keberuntungan Yogyakarta Punya Rakyat yang Istimewa...

Kompas.com - 03/10/2008, 07:19 WIB

Pada tahun 1998, menjelang keruntuhan rezim Soeharto, sejumlah kota besar di negara ini mengalami kerusuhan yang mengakibatkan korban rakyat sipil. Ketika itu, tanggal 20 Mei pada tahun yang sama, ada gerakan rakyat yang melibatkan sejuta orang dari seluruh penjuru Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, banyak yang memperkirakan, Yogyakarta pasti akan rusuh seperti kota-kota lain. Bahkan, Solo yang hanya berjarak 60 kilometer dari Yogyakarta ternyata mengalami kerusakan sangat dahsyat akibat amuk rakyat yang tak terkendali.

Perkiraan terjadinya kerusuhan di Yogyakarta meleset. Memang benar semua penduduk keluar rumah. Mereka berupaya menuju ke Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Jalan penuh, sampai ke lorong-lorong sempit di sekitar kawasan Malioboro yang padat penduduk. Pemilik toko tidak membuka usahanya. Sebagai ganti, mereka berpartisipasi dengan menyediakan makanan dan minuman untuk rakyat yang melalui kawasan di sekitar toko.

Pengaruh Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X jelas besar dalam menentukan keamanan di wilayahnya. Waktu itu pemerintahan Provinsi DIY masih dijalankan oleh Paku Alam (PA) VIII, yang juga turut menemui massa di Alun-alun.

Sultan HB X sebagai raja yang mengayomi masyarakat dalam kondisi yang genting, penuh ketegangan dan provokasi, sering kali berkeliling ke seluruh Yogyakarta menenteramkan hati rakyat yang panas. Konsentrasi massa di pusat perbelanjaan yang sangat rawan dengan aksi perusakan dan pembakaran berhasil dilunakkannya. Semua merasa berterima kasih karena merasa diayomi Sang Raja.

Peristiwa itu sering disebut Pisowanan Ageng, yang menunjuk sebuah ritual pertemuan antara rakyat dan raja dalam tradisi keraton. Namun, banyak juga yang mengatakan sebagai gerakan rakyat Yogyakarta. Ini karena peran rakyat dalam aksi satu juta orang menjelang runtuhnya Soeharto di Yogyakarta itu sangat nyata.

Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman KH Abdul Muhaimin mengungkapkan, peristiwa ratusan ribu warga Yogyakarta yang turun ke jalan pada 20 Mei 1998 itu adalah gerakan rakyat.

”Saya salah satu yang menjadi organisator bersama-sama dengan Pak Loekman Sutrisno (almarhum guru besar Universitas Gadjah Mada/UGM). Dalam rapat-rapat sebelum peristiwa itu, saya selalu ikut. Pada tanggal 19, sehari sebelumnya, saya menandatangani 300 kartu identitas untuk relawan di Wisma Bethesda. Untuk menyelesaikan tanda tangan itu sampai pukul 3.00 dini hari. Rapat itu membahas rencana aksi dengan detail,” katanya.

Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede, juga menjelaskan kenapa gerakan rakyat Yogyakarta yang melibatkan jutaan warga ini bisa berlangsung damai, tidak seperti Solo atau Jakarta yang sedemikian bergolak.

”Faktornya banyak. Sultan juga merupakan salah satu faktor sehingga aksi menjadi tidak beringas. Di Yogyakarta juga banyak mahasiswa yang terlibat dan mereka berpikir lebih ilmiah. Tetapi, saya kira kalau gerakan ini terjadi di kota lain, akan beda. Bisa hancur-hancuran. Kami semua sadar, kota ini selalu menjadi barometer, jika Yogyakarta ini bergolak, seluruh Indonesia juga akan bergolak. Kalau sudah demikian, yang akan menjadi korban justru rakyat. Inilah yang disadari oleh kami semua,” lanjutnya.

”Peristiwa ini tentu menunjukkan adanya keistimewaan Yogyakarta. Coba saja lihat, rompi yang dipakai oleh relawan pada waktu itu hanya terbuat dari kain belacu yang dilubangi. Kekompakan antara rakyat Yogyakarta dan para aktivis ini berlangsung sangat erat. Penggalangan terjadi di kantor Pak Loekman Sutrisno yang berada di UGM, termasuk kita merancang pertemuan di tingkat rukun tetangga (RT). Semua ini dilakukan untuk membuat Yogyakarta damai. Sampai-sampai kami ini mengidentifikasi wilayah yang rawan bergolak, seperti Kricak, Gondomanan, dan Tukangan, itu kami datangi. Di samping juga menggerakkan para dermawan untuk membuat spanduk yang kami pasang di seluruh wilayah Yogyakarta. Semua itu keluar dari kantong warga dengan sukarela,” papar Muhaimin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com