Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

SKB Ahmadiyah Wajah Buruk SBY-JK

Kompas.com - 12/06/2008, 21:41 WIB

JAKARTA, KAMIS - Terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah merupakan wajah buruk kepemimpinan SBY-JK yang diskriminatif, sekaligus juga mengingkari keberagaman yang merupakan fakta sosiologis bangsa Indonesia. "SKB benar-benar dibangun atas dasar tekanan dan kebencian sekelompok orang," tegas Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi, dalam konperensi pers bersama pengamat politik UI Arbi Sanit, Yuddy Latief (Paramadhina), dan Usman Hamid (Kontras), Kamis (12/6).

Hendardi mengatakan, SKB tersebut merupakan upaya pemerintah menjawab ketidakpastian tentang jaminan kebebasan beragama/berkeyakin an dengan ketidakpastian baru. Pemerintah juga telah memanfaatkan kontroversi Ahmadiyah tidak semata untuk membatasi dan mengancam hak jemaah Ahmadiyah, tapi juga mengancam setiap warga negara  untuk melakukan tafsir atas agama.

"Negara, melalui SKB ini tidak memberi ruang bagi setiap perbedaan dan merampas kemerdekaan berpikir warga negara, karena kebenaran tafsir atas agama menjadi otoritas negara," tegasnya.

Disamping itu, kata Hendardi, SKB bukan produk hukum yang bisa mengikat dan menuntut kepatuhan publik, karena SKB tidak dikenal dalam tata perundang-undangan Indonesia. Kami menolak secara tegas terbitnya SKB tersebut, karena pemerintah secara sengaja membiarkan ketidakpastian hukum atas Ahmadiyah," tandas Hendardi.

Sedangkan Yuddy Latief menyebutkan ada dua bentuk pelanggaran yang dilakukan negara terkait SKB tersebut. Pertama, pelanggaran terhadap hak sipil yang paling mendasar, yaitu hak untuk beragama. Padahal UUD secara jelas melindungi hak tersebut pada pasal 29.

Kedua, pelanggaran hak kelompok komunitarian untuk menafsirkan agama. Dalam kasus Ahmadiyah ini telah terjadi perlakuan diskriminasi, yang semestinya negara memproteksinya dengan keyakinan mereka itu. "Negara seharusnya melindungi kebebasan beragama, tapi ternyata tidak. Presiden telah gagal sebagai penjaga konstitusi," ujar Yuddy.

Adapun Arbi Sanit menilai SKB tersebut menunjukkan gejala dari negara demokrasi menuju negara teokrasi atau negara totaliter, yang mengatur segala hal, sehingga hukum agama dijadikan sebagai hukum negara. "Mulai tampak gejala radikalisme untuk membangun negara berdasarkan agama tertentu," tegas Arbi.

Sementara Usman Hamid melihat menjelang 2009 konstalasi politik akan mengambil keuntungan dari polemik SKB Ahmadiyah. Para pihak yang berkepentingan akan memakainya sebagai senjata untuk menjatuhkan lawannya. (Persda Network/js)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Nasional
    Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

    Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

    Nasional
    Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

    Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

    Nasional
    Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

    Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

    Nasional
    Ganjar Bubarkan TPN

    Ganjar Bubarkan TPN

    Nasional
    BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

    BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

    Nasional
    TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

    TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

    Nasional
    Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

    Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

    Nasional
    Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

    Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

    Nasional
    Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

    Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

    Nasional
    Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

    Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

    Nasional
    Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

    Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

    Nasional
    Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

    Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

    Nasional
    SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

    SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com