JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, ada dua pasal dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) yang mengatur syarat calon kepala daerah, presiden dan wakil presiden berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika diloloskan.
Kedua pasal tersebut yakni Pasal 209 Ayat 1 Huruf K dan Pasal 140 Ayat 1.
Pasal 209 Ayat 1 Huruf K mengenai keharusan mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, ASN, anggota TNI, Anggota Polri, Direksi, komisaris, Dewan pengawas dan karyawan pada BUMN / BUMD, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
Menurut Veri, pasal itu berpotensi digugat karena bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Veri menjelaskan, di satu sisi, syarat dalam pasal ini sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU Pilkada untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
(Baca: 23 Pasal di RUU Pemilu Berpotensi Langgar UUD 1945)
Namun, di sisi lain, ketentuan ini kontradiktif dengan aturan dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu tentang syarat mencalonkan diri menjadi calon presiden/wapres.
"(Presiden) pada ketentuan ini dikecualikan untuk mundur. Sehingga, tidak akan ada kepastian hukum dan perlakuan yang sama," ujar Veri, saat diskusi, di Jakarta, Kamis (3/11/2016).
Kemudian, lanjut Veri, Pasal 140 Ayat 1 RUU Pemilu mengenai pejabat negara yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagal calon presiden atau calon wapres harus mengundurkan diri dari jabatannya kecuali presiden/wapres, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota.
"Ketentuan ini berpotensi digugat ke MK sebab memberikan perlakuan khusus bagi Presiden, Wapres dan Kepala daerah untuk tidak mundur dari jabatannya jika ingin maju dalam bursa pencalonan," kata dia.
Hal ini bertentangan dengan ketentuan UU Pilkada yang mengharuskan kepala daerah untuk mundur saat ingin mencalonkan di daerah lain dengan cuti kampanye.
Selain itu, ketentuan ini juga kontradiktif dengan ketentuan dalam UU yang sama tentang pencalonan caleg yang harus mundur.
"Kenapa untuk capres dan cawapres jabatan ini dieksklusifkan tidak harus mundur, sementara menjadi caleg harus mundur? Terdapat ketidakonsistenan berpikir dalam penyusunan norma tersebut," kata dia.
"Bagaimana jika posisi presiden di sini adalah incumbent atau petahana yang kemudian dicalonkan lagi? Ini tentu akan kental politisasi dan pemanfaatan jabatan. Pasal ini menimbulkan perlakuan berbeda lantaran kontradiksi antar pasal sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum," tambah Veri.
Sebelumnya, KODE Inisiatif menemukan adanya 23 pasal krusial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu karena berpotensi melanggar konstitusi atau putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari 23 pasal krusial ini, KODE Inisiatif mengelompokkan ke dalam sembilan kualifikasi, yakni mengenai penyelenggara, syarat calon, sistem pemilu, keterwakilan perempuan, dan syarat parpol dalam pengajuan calon presiden atau wakil presiden.
Kemudian, terkait larangan kampanye pada masa tenang, Ketentuan sanksi kampanye, waktu pemilu susulan atau lanjutan, dan putusan DKPP terkait etika penyelenggaraan pemilu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.