JAKARTA, KOMPAS.com - Advokat Ifdhal Kasim menilai alasan pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, tak relevan.
Pemerintah beralasan salah satu alasan yang jadi latar belakang direvisinya PP tersebut karena kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) yang kelebihan kapasitas.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menuturkan kondisi ini membuat lapas rentan terjadi kerusuhan.
"Argumennya tidak relevan. Kapasitas berlebih dengan revisi PP 99 tidak ada relasinya," kata Ifdhal dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (20/8/2016).
(Baca: Remisi Koruptor Dipermudah, KPK Kirim Surat Keberatan kepada Presiden)
Ifdal menuturkan saat ini 70 persen penghuni lapas adalah narapidana kasus narkotika. Sedangkan pelaku korupsi hanya 1,9 persen.
Dalam draf revisi PP 99, ketentuan Justice Collaborator (JC) sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, dihilangkan.
JC adalah pelaku pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar keterlibatan pelaku lain.
Penghilangan ketentuan JC sebagai syarat mendapat remisi bagi koruptor ini dinilai mengendurkan upaya pemberantasan korupsi.
Pelaku korupsi sebelumnya hanya mendapatkan remisi jika bersedia menjadi JC.
Menurut mantan ketua Komnas HAM itu, faktor terbesar dari kelebihan kapasitas lapas terdapat pada politik hukum pidana terkait dengan narkotika.
Ifdal menuturkan, terdapat kesalahan dalam UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
"Kejahatan narkotika itu dipandang sebagai kejahatan serius sehingga perlu pemenjaraan terhadap mereka,," ucap Ifdhal.
Ifdal menilai pembuatan lapas baru tidak akan menghilangkan kelebihan kapasitas untuk menampung narapidana.
Menurut Ifdal, hukum Indonesia cenderung memenjarakan setiap kesalahan yang dibuat masyarakat.