JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mengatakan, KPK tidak setuju dengan salah satu poin dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Revisi itu menyebutkan, terpidana kasus korupsi tidak lagi harus memiliki status "justice collabolator" (JC) untuk mendapatkan remisi.
Syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, dihilangkan.
Dengan demikian, terpidana kasus tersebut bisa mendapatkan remisi dengan dua syarat pokok, yakni berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidananya.
"Saya pikir bahwa soal rancangan peraturan pemerintah itu, Pak Agus juga sudah bicara kemarin bahwa kami kurang sependapat," ujar Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/8/2015).
Syarif berharap, revisi PP untuk mempermudah syarat mendapatkan remisi bagi koruptor dapat dikaji secara mendalam.
Salah satu tujuan pemidanaan adalah untuk menimbulkan efek jera.
Dikutip dari Kompas, alasan pemerintah merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 karena lembaga pemasyarakatan yang ada sudah penuh.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Kusmiantha Dusak mengatakan, upaya revisi PP No 99/2012 itu mendesak dilakukan mengingat kondisi LP yang kian padat.
Di sisi lain, pelaksanaan JC selama ini justru dimanfaatkan oknum penegak hukum yang tidak taat prosedur.
"Status JC tidak jarang menjadi komoditas yang diperjualbelikan," katanya.
Mengenai napi korupsi, Dusak beranggapan, penegakan hukum terhadap koruptor seharusnya selesai di pengadilan, sebab di sana ada jaksa yang menuntut dan hakim yang memvonis.
Adapun peran LP adalah memasyarakatkan kembali para terhukum.
Di sisi lain, beban lapas yang berat karena jumlah napi yang kini mencapai lebih dari 180.000 orang harus segera diatasi.