JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana meminta media massa di Tanah Air agar tidak membesar-besarkan berita terkait penyanderaan WNI oleh kelompok bersenjata yang berbasis di Filipina.
Pemberitaan media, kata dia, bisa digunakan penyandera untuk menekan pemerintah. "Para penyandera bisa tahu apa saja yang dilakukan pemerintah melalui media. Caranya gampang, tinggal di-Google saja," ujar Hikmahanto di Jakarta, Senin (11/7/2016).
(Baca: Operasi Militer Gabungan di Filipina Jangan Sampai Bahayakan WNI)
Sejak Maret 2016, terjadi empat kali penculikan terhadap pelaut Indonesia di perairan perbatasan Indonesia-Filipina-Malaysia. Penculik selalu menuntut uang tebusan pada tiga penyanderaan pertama. Namun di penculikan terakhir, penyandera belum mengajukan tuntutan.
Dari tiga kali upaya pembebasan itu, pemerintah mengaku tidak mengeluarkan uang tebusan sepeserpun. Pembebasan, menurut pernyataan pemerintah saat itu, berkat koordinasi semua pihak.
Penculikan dan penyanderaan WNI keempat ini terjadi pada pukul 20.33 waktu setempat, Sabtu (9/7/2016). Penculik menyasar tiga WNI yang bekerja di atas kapal pukat tunda berbendera Malaysia, LLD113/5/F. Kapal itu disergap kelompok bersenjata di sekitar perairan Felda Sahabat, Tungku, Lahad Datu, Negara Bagian Sabah, Malaysia.
Kejadian itu baru dilaporkan pemilik kapal pada Minggu (10/7/2016). Ketiga WNI ABK yang disandera adalah warga Nusa Tenggara Timur.
(Baca: Panglima TNI: Biarkan Saja Filipina Mati Lampu)
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, telah menyatakan, penculikan dan penyanderaan kali ini tidak bisa ditoleransi dengan alasan apapun.
Hikmahanto yakin ada anggota kelompok bersenjata penyekap WNI yang mengerti bahasa Indonesia.
Sementara itu, pengamat terorisme dan intelijen, Wawan Purwanto, yakin pemerintah telah menggelar "operasi klandestine" begitu kabar penculikan dan penyanderaan keempat kali atas WNI ini terungkap. "Langkah pemerintah memang tidak perlu dibuka untuk publik," kata dia.
Sebelumnya, tujuh anak buah kapal (ABK) WNI lebih dulu disandera kelompok Abu Sayyaf di perairan Sulu, Filipina Selatan. Penyanderaan itu terjadi pada Senin (20/6/2016).
Selain membajak kapal, penyandera meminta tebusan sebesar Rp 60 miliar. Lalu, 10 WNI ABK kapal tunda Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf dan dibebaskan pada awal Mei 2016.
Selain itu, empat ABK kapal tunda Henry juga disandera kelompok yang sama. Keempatnya dibebaskan pada pertengahan Mei 2016.