Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ribut Soal Kuburan Massal, Pemerintah Lebih Baik Fokus Cari Cara Ungkap Kebenaran Tragedi 1965

Kompas.com - 17/05/2016, 06:16 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Setara Institute Hendardi meminta pemerintah tidak terlalu memfokuskan perhatian pada perdebatan perlu atau tidaknya membongkar kuburan massal korban Peristiwa 1965.

Yang terpenting saat ini Presiden Joko Widodo menemukan satu konsep penyelesaian kasus yang komprehensif di mana di dalamnya mencakup pengungkapan kebenaran dan pemulihan hak-hak korban.

"Saya kira membongkar kuburan massal bukan hal utama. Membongkar kuburan massal adalah salah satu cara untuk membuktikan kebenaran yang selama ini disangkal oleh negara. Yang terpenting pengungkapan kebenaran dan remedy bagi korban," ujar Hendardi saat dihubungi Kompas.com, Senin (16/5/2016).

Hendardi mengatakan, perintah Presiden Jokowi untuk mencari keberadaan kuburan massal muncul karena kuatnya penyangkalan atas berbagai temuan hasil investigasi Komnas HAM, elemen masyarakat sipil, dan kelompok penyintas Peristiwa 1965.

(Baca: Berbeda dengan Jokowi, Ryamizard Tolak Rencana Bongkar Kuburan Massal Tragedi 1965)

Jika upaya pembongkaran kuburan massal membuat pemerintah tidak satu suara dan justru membahayakan proses penyelesaian kasus Peristiwa 1965, maka Hendardi mengusulkan Presiden Joko Widodo mencari cara lain untuk mengungkap kebenaran dan tetap berada di bawah komando Presiden.

Hendardi menegaskan bahwa negara harus bisa menyusun narasi baru mengenai Peristiwa 1965 secara objektif dan adil.

"Membongkar kuburan hanya salah satu cara, yang terpenting Indonesia menyusun narasi baru tentang peristiwa tersebut secara obyektif dan adil," kata Hendardi.

(Baca: Didukung Ryamizard, Purnawirawan TNI Akan Bentuk Simposium Lawan PKI)

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965.

Kuburan massal itu, kata Luhut, untuk pembuktian sekaligus meluruskan sejarah terkait isu pembantaian pengikut PKI setelah tahun 1965 silam.

Namun, belakangan keputusan presiden ini ditentang oleh menteri lain yakni Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Ryamizard mengaku tidak sepakat rencana pembongkaran kembali kuburan massal tragedi 1965 karena hanya akan menimbulkan gejolak.

(Baca: Pemerintah Bentuk Tim untuk Verifikasi Data Kuburan Massal Korban 1965)

"Justru itu. Bongkar-bongkar kuburan kalau semuanya marah? Berkelahi semua," ujar Ryamizard di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Jumat (13/5/2016).

Ia mengingatkan agar semua pihak tidak memprovokasi dan mengundang terciptanya pertumpahan darah. Pembongkaran kuburan massal itu dianggap Ryamizard bukannya membangun negara, justru merusak negara.

"Saya sebagai Menhan tentunya menginginkan negara ini tidak ada ribut-ribut, damai," kata dia.

Kompas TV Kuburan Massal Korban 1965 Ada di Semarang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Nasional
Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Nasional
Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Nasional
Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Nasional
Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Nasional
Soal Kekerasan di STIP, Menko Muhadjir: Itu Tanggung Jawab Institusi

Soal Kekerasan di STIP, Menko Muhadjir: Itu Tanggung Jawab Institusi

Nasional
Pertamina Goes To Campus 2024 Dibuka, Lokasi Pertama di ITB

Pertamina Goes To Campus 2024 Dibuka, Lokasi Pertama di ITB

Nasional
Demokrat Sudah Beri Rekomendasi Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jawa Timur

Demokrat Sudah Beri Rekomendasi Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jawa Timur

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com