JAKARTA, KOMPAS.com - Banyaknya ujaran kebencian atau hate speech di media sosial dinilai menjadi salah satu faktor maraknya radikalisme, yang kemudian berubah rupa menjadi aksi terorisme.
Fenomena tersebut semakin diperparah dengan kurangnya respon dan tindakan kepolisian, bahkan cenderung melakukan pembiaran.
"Kenapa polisi membiarkan ujaran kebencian tersebar dalam media sosial," kata anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Kebangkitan Bangsa, Maman Imanulhaq, dalam sebuah dialog di Jakarta, Senin (29/2/2016).
"Seharusnya polisi jangan takut dengan kelompok radikal, supaya Boko Haram dan ISIS tidak berkembang di Indonesia," ujarnya.
Menurut Maman, polisi sudah memiliki instrumen hukum yang kuat untuk melakukan penindakan. Misalnya, Surat Edaran Kapolri mengenai hate speech atau ujaran kebencian.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Kepala Bagian Operasi Binmas Polda Metro Jaya AKBP Jajang Hasan Basri mengatakan bahwa masih kegamangan dalam melakukan penindakan di lapangan karena minimnya pengetahuan terkait konflik agama.
"Anggota di lapangan bukannya lambat, tapi takut salah menindak," kata Jajang.
Menurut penjelasan AKBP Jajang, kepolisian selalu menunggu keputusan dari Kementerian Agama untuk melakukan tindakan terhadap ormas-ormas radikal yang ingin mengubah ideologi negara.
Ia menuturkan, praktiknya di lapangan sendri masih ada perdebatan bagaimana seharusnya polisi melakukan penindakan.
"Persoalannya ada di perbedaan cara pandang, yang menjadikan SOP tidak dipahami oleh polisi," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.