Meskipun demikian, ia menilai pasal tersebut perlu dilengkapi penjelasan tambahan sehingga tidak menutup hak-hak warga negara untuk memberikan kritik terhadap presiden.
"Di satu sisi boleh saja untuk menjaga kewibawaan presiden, tetapi jangan sampai membunuh demokrasi," ujar Masinton, saat ditemui di Kantor DPP Partai Nasdem, Jakarta Pusat, Sabtu (8/8/2015).
Menurut Masinton, harus dibedakan antara penghinaan dengan kritik. Secara universal, penghinaan tentu tidak diperbolehkan, baik terhadap presiden maupun terhadap rakyat biasa.
Terkait rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat kembali pasal penghinaan bagi Presiden, menurut Masinton, perlu dikaji secara mendalam.
DPR yang diberi kewenangan untuk membahas RUU KUHP perlu mengantisipasi agar pasal tersebut tidak disalahgunakan sehingga membungkam kritik terhadap penguasa.
Menurut dia, DPR akan berupaya untuk memberikan pemaknaan, termasuk memisahkan mana-mana saja yang dikategorikan sebagai penghinaan dan mana yang dikategorikan sebagai kritik.
"Jangan sampai pasal ini jadi pasal karet. Itu akan kita bahas sejelas-jelasnya dan secara detail, agar jangan sampai membungkam suara kritis," kata Masinton.
Dalam Pasal 263 RUU KUHP, pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden kembali diusulkan menjadi undang-undang. Padahal, pasal tersebut sebenarnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.
Saat itu MK berpandangan bahwa pasal tersebut merupakan pasal yang diadopsi dari kolonialisme, dan tidak sesuai dengan prinsip Indonesia sebagai negara demokrasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.