Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbeda dengan MUI, NU Tak Permasalahkan BPJS Kesehatan

Kompas.com - 03/08/2015, 21:37 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com
- Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan menerima dan memperbolehkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pendapat NU ini diputuskan dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyah (masalah kekinian) di arena Muktamar ke-33 NU di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, Senin (3/8/2015) malam. 

Sebelumnya, MUI menyatakan BPJS Kesehatan tak sesuai dengan syariah Islam dan merekomendasikan pembentukan BPJS syariah.

"BPJS itu tergolong dalam konsep Syirkah Ta'awwun yang sifatnya gotong royong (sukarela), bukan seperti asuransi yang menjadi dasar dari fatwa haram oleh MUI," kata anggota pimpinan sidang Komisi Bahtsul Masail KH Asyhar Shofwan MHI, Senin malam.

Asyhar mengungkapkan, asuransi haram karena sifatnya profit. Namun, pengecualian bagi asuransi yang dilakukan pemerintah.

"NU sendiri sudah menghukumi asuransi itu haram, karena sifatnya profit, kecuali asuransi yang dilakukan pemerintah, seperti Jasa Raharja, karena sifatnya santunan. Kalau BPJS itu asuransi, tentu haram," ujar dia.

Asyhar mengatakan, NU menilai BPJS itu bukan asuransi, melainkan "syirkah ta'awwun" sehingga hukumnya boleh.

"Karena itu, pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang sifat gotong royong atau sukarela dari BPJS Kesehatan itu agar masyarakat tidak memahami BPJS Kesehatan sebagai asuransi pada umumnya," katanya.

Menurut dia, BPJS Kesehatan sebagai "Syirkah Ta'awwun" itu hendaknya dipahami sebagai sedekah dan saling membantu, sehingga tidak sama dengan asuransi yang profit.

"Sebagai sedekah, maka masyarakat harus ikhlas dalam membayar," ujar Asyhar.

Ia mengatakan masyarakat yang tidak ikhlas dalam membayar "sedekah" melalui BPJS Kesehatan itu hanya mau membayar ketika sakit dan tidak membayar ketika sehat.

"Yang namanya sedekah itu harus dalam keadaan sakit atau sehat," katanya.

Dalam sidang Komisi Bahtsul Masail pada Muktamar Ke-33 NU itu, NU merekomendasikan tiga hal untuk menjadikan BPJS Kesehatan sebagai "syirkah ta'awwun" dan harus disosialisasikan kepada masyarakat secara terus menerus.

"Tiga rekomendasi kami tentang BPJS Kesehatan adalah tidak ada pemaksaan, status peserta BPJS harus selalu di-update karena orang miskin itu tidak miskin terus, dan manfaat gotong royong untuk saling membantu itu harus disosialisasikan terus," paparnya.

Pada kesempatan itu, Wakil Ketua Umum MUI KH Makruf Amin menjelaskan fatwa MUI terkait BPJS Kesehatan karena menganggap ada ketidakberesan secara prosedural dan substansial.

"Sesuai undang-undang, di antaranya, suatu produk bisa dianggap bersistem syariah jika mendapatkan opini kesyariaahan dari Dewan Syariah Nasional. Nah, BPJS Kesehatan tidak mengajukan untuk meminta fatwa atau opini kesyariaahan ke Dewan Syariah Nasional," ujarnya.

Selain itu, MUI juga mempersoalkan uang yang dikumpulkan itu didepositkan di bank konvensional sehingga mengandung riba. MUI menyatakan bisa menerima BPJS jika sistem yang dipersoalkan MUI diperbaiki.
 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com