Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mudik dan Arus Migrasi

Kompas.com - 27/07/2014, 23:17 WIB

KOMPAS.com - Kegembiraan umat Islam dalam menyambut Lebaran di Indonesia memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan umat Islam di belahan dunia lain.

Jika di bulan Ramadhan secara umum umat Muslim mendapat dua kegembiraan, yaitu saat berbuka puasa dan saat menyambut hari raya, umat Muslim di Indonesia memiliki tiga kegembiraan, dengan ”ritual” mudik ke kampung halaman sebagai kegembiraan ketiga.

Menjelang hari raya umat Islam ini, kata ”mudik” menjadi sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia karena tradisi unik ini tidak hanya dilakukan umat Islam, tetapi juga sudah berkembang menjadi sebuah ”peribadatan” lintas agama. Banyak umat non-Muslim yang juga memanfaatkan momentum liburan panjang untuk bersilaturahim dengan sanak keluarga.

Sebagai fenomena khas masyarakat Indonesia, mudik merupakan sebuah manifestasi dari masih kuatnya kohesi sosial masyarakat kita di tengah perubahan sosial menuju masyarakat industri dan pasca modernisme. Jarak sosial dan geografis yang membentuk pelapisan sosial akibat perbedaan profesi dan struktur ekonomi yang selama ini terjadi menjadi lebih pendek ketika arus mudik berlangsung.

Meski lebih kental nuansa sosialnya ketimbang nuansa religinya, mudik telah memberikan inspirasi dan dukungan teologis yang kuat. Dalam Islam, misalnya, ajaran membangun silaturahim atau jaringan sosial (social capital), ukhuwah, dan saling memaafkan telah diterjemahkan dalam kultur masyarakat kita melalui peristiwa mudik.

Secara etimologis, mudik berasal dari kata Betawi yang berarti ’menuju udik’ (pulang kampung). Dalam pergaulan masyarakat Betawi terdapat kata mudik yang berlawanan dengan kata milir. Jika mudik berarti pulang, milir berarti ’pergi’. Sehubungan dengan kata ini, pendapat lain mengungkapkan bahwa kaum urban di Sunda Kelapa sudah ada sejak abad pertengahan. Orang-orang dari luar Jawa mencari nafkah ke tempat ini, menetap, dan pulang kembali ke kampungnya saat Idul Fitri tiba.

Sementara menurut Mahayana (2011), fenomena mudik yang kemudian dikaitkan dengan Lebaran mulai terjadi pada awal pertengahan dasawarsa 1970-an ketika Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) disulap menjadi sebuah kota metropolitan.

Bagi penduduk kota-kota lain, terutama orang-orang udik, Jakarta menjelma sebagai kota impian. Dengan begitu, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang udik yang di kampung tak beruntung dan di Jakarta seolah-olah akan kaya. Boleh jadi, lebih dari 80 persen para urbanis ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan.

Migrasi penduduk

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tidak ada peristiwa mudik jika tidak ada peristiwa migrasi penduduk dari luar Jakarta menuju Jakarta. Secara demografis, terdapat beberapa tipe migrasi penduduk, di antaranya migrasi seumur hidup (life time migration) dan migrasi risen (recent migration).

Penghitungan migran seumur hidup diperoleh dari data yang memperbandingkan tempat tinggal penduduk pada saat pencacahan (dalam hal ini tinggal di Jakarta) dengan tempat kelahirannya (dalam hal ini di luar Jakarta). Sementara migrasi risen diperoleh dari data penduduk yang pada saat pencacahan tinggal di Jakarta dan lima tahun sebelum pencacahan tinggal di luar Jakarta.

Data Sensus Penduduk (SP) 2010 memperlihatkan jumlah migran seumur hidup di Jakarta sekitar 4 juta jiwa. Jumlah ini sedikit lebih besar daripada data yang diperlihatkan oleh SP 2000, yaitu sekitar 3,5 juta jiwa. Dari perbandingan kedua data ini, sementara dapat disimpulkan, ada tambahan penduduk yang masuk ke Jakarta sebesar lebih kurang 500.000 jiwa selama kurun waktu 10 tahun. Angka ini relatif mirip dengan data migrasi risen yang masuk ke Jakarta dari SP 2010, yaitu sebesar 600.000 jiwa, yang memperlihatkan adanya sejumlah penduduk yang masuk ke Jakarta selama periode 2005-2010.

Baik data sensus maupun data survei yang dilakukan Lembaga Demografi FEUI bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2014) memperlihatkan bahwa 90 persen migran yang masuk ke Jakarta berasal dari daerah-daerah di Pulau Jawa. Daerah-daerah pengirim utama migran ke Jakarta adalah Jawa Tengah (37 persen), Jawa Barat (34 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (7 persen), Jawa Timur (7 persen), dan Banten (7 persen). Sisanya para migran yang berasal dari terutama Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Hasil survei memperlihatkan, hampir semua pemudik dari Jakarta berangkat menuju tempat kelahiran mereka sehingga dapat diperkirakan bahwa jumlah pemudik yang berangkat dari Jakarta sekitar 4 juta jiwa jika dikaitkan dengan jumlah migran semasa hidup yang masuk ke Jakarta berdasarkan SP 2010.

Namun, bisa jadi tidak semua migran tersebut pergi mudik pada tahun ini dengan berbagai alasan. Karena itu pula, hasil survei ini memperlihatkan perkiraan pemudik tahun 2014 dari Jakarta sebesar 3,6 juta jiwa.

Sejalan dengan distribusi daerah asal (tempat kelahiran) migran di Jakarta sebagaimana disebutkan di atas, distribusi daerah tujuan mudik juga diperkirakan menuju tempat-tempat yang sama. Para penentu kebijakan yang menangani persoalan arus penduduk ini hendaknya memperhatikan dan memfokuskan diri pada distribusi interaksi spasial antara Jakarta dan daerah-daerah lain, terutama di Jawa ini.

Chotib
Peneliti Lembaga Demografi FEUI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com