Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Stop Politisasi Agama

Kompas.com - 13/06/2014, 08:52 WIB

Oleh:

KOMPAS.com - Ada pernyataan miris yang dilontarkan Mahfud MD, Ketua Tim Pemenangan Pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta, saat rapat pemenangan dan pembekalan tim kampanye Prabowo-Hatta di Hotel Sahid, Jakarta, 27 Mei 2014.

Mahfud mengatakan, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memiliki banyak plus atau kelebihan. Jika mau dilihat kelemahannya, Prabowo-Hatta memiliki kelemahan lebih sedikit. Dalam pernyataannya, Mahfud juga menyinggung ajaran fikih Islam (kaidah ushul fikih).

Ia mengatakan, ”Sesuai ajaran fikih yang saya pelajari, harus memilih yang kelemahannya lebih sedikit. Dalam ushul fikih, menghindari kerusakan lebih baik daripada memilih kebaikan yang semu. Prabowo-Hatta lebih menghindari hal-hal yang mudarat.”

Perlu dipahami, pernyataan Mahfud yang membawa simbol-simbol agama itu (baca: ajaran fikih) muncul dalam forum politik berdasarkan kapasitasnya sebagai seorang politisi, ketua tim pemenangan pasangan capres dan cawapres, dan dalam konteks upayanya untuk memenangkan pasangan Prabowo-Hatta dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Artinya, pernyataan itu muncul dalam rangka menaikkan posisi tawar pasangan Prabowo-Hatta. Andai saja Mahfud berada di kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai lawan pasangan Prabowo-Hatta barangkali pernyataannya akan berbeda. Pernyataannya itu tidak bisa disamakan dengan pernyataan Mahfud dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh nasional, agamawan, ustaz, atau santri.

Kaidah ushul fikih—digagas oleh para imam ushuliyyin, salah satunya imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi’i—sebagaimana disitir Mahfud dalam pernyataannya adalah kaidah-kaidah universal sebagai pijakan untuk mengeluarkan hukum syara’. Ushul fikih adalah metodologi yurisprudensi Islam untuk melahirkan produk hukum demi kemaslahatan universal, bukan kemaslahatan golongan, khususnya mengenai hal-hal yang tidak disinggung secara rigid oleh Al Quran dan hadis Nabi.

Dengan demikian, penggunaan kaidah ushul fikih bukanlah untuk tujuan politik, ambisi kekuasaan yang bersifat profan, bukan pula untuk melegitimasi gerakan politik sebagaimana yang ditunjukkan Mahfud. Menyitir ilmu fikih hanya untuk menguatkan daya tawar politiknya di tengah masyarakat jelas adalah sikap yang salah kaprah. Dari sini mulai tampak apa yang diungkapkan Mahfud adalah bagian dari politisasi agama.

Ali Maschan Moesa, dalam bukunya berjudul Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (2007), mengatakan, politisasi agama berarti menggunakan simbol-simbol agama untuk menggerakkan massa, mengaduk-aduk emosi keagamaan, menjalin kekuatan di parlemen, dan seterusnya, tetapi tujuannya untuk kepentingan politik, bukan kepentingan agama.

Akibat fatal

Agama sangat erat kaitannya dengan persoalan keimanan, ketakwaan, dan keyakinan kepada Tuhan. Agama tidak membeda-bedakan golongan politik. Agama meneguhkan aspek kepentingan abadi, yaitu keselamatan di dunia dan akhirat. Adapun politik sangat erat kaitannya dengan persoalan kekuasaan yang bersifat sesaat.

Jika politik diperjuangkan untuk kepentingan agama, barangkali tidak akan menjadi masalah. Namun, jika agama dieksploitasi untuk kepentingan politik seperti penggunaan simbol-simbol agama dan ajaran agama hanya demi tujuan mencapai kemenangan politik, di sinilah mulai terjadi pelecehan agama.

Mari kita belajar dari sejarah. Pada abad pertengahan, misalnya, di dunia Barat pernah terjadi dominasi agama Nasrani terhadap segala aspek kehidupan. Tidak hanya dalam aspek sosial, hukum, tetapi juga dalam aspek politik. Akibatnya, agama Nasrani dan dogma-dogma gereja kerap dijadikan sebagai alat legitimasi kepentingan politik sesaat di Barat.

Walhasil, pelecehan agama tidak bisa dihindari karena agama dieksploitasi terlalu jauh oleh kepentingan politik dan nafsu keserakahan. Akankah ini juga terjadi di Indonesia?

Jika kita tidak ingin hal itu terjadi, hendaknya para agamawan, ulama, ustaz, santri, atau apa pun namanya yang kini terlibat dalam percaturan politik menjelang Pilpres 2014, tidak menyeret agama ke ranah politik sebagai strategi untuk memenangkan pasangan yang didukungnya. Dalam konteks itu, Imam Ghazali mengategorikan ulama yang mengeksploitasi agama demi kepentingan dunia sebagai ulama al-syuk, yaitu ulama yang menjual ayat dengan murah, mencari legitimasi murahan yang bersumber dari ajaran agama untuk mencapai hasrat keduniaannya.

Kemenangan dalam pilpres adalah hal yang bersifat duniawi. Dan, menurut ukuran agama, hal tersebut sangatlah rendah dan murah harganya dibandingkan dengan agama itu sendiri, seperti tersebut dalam surat Al Baqarah. Wallahuaalam bisshawab.

Abdul Waid Dosen Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen
Komentar

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Akan Undang Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta untuk Klarifikasi LHKPN

KPK Akan Undang Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta untuk Klarifikasi LHKPN

Nasional
Dian Andriani Ratna Dewi Jadi Perempuan Pertama Berpangkat Mayjen di TNI AD

Dian Andriani Ratna Dewi Jadi Perempuan Pertama Berpangkat Mayjen di TNI AD

Nasional
Indonesia Kutuk Perusakan Bantuan untuk Palestina oleh Warga Sipil Israel

Indonesia Kutuk Perusakan Bantuan untuk Palestina oleh Warga Sipil Israel

Nasional
Tanggapi Polemik RUU Penyiaran, Gus Imin: Mosok Jurnalisme Hanya Boleh Kutip Omongan Jubir

Tanggapi Polemik RUU Penyiaran, Gus Imin: Mosok Jurnalisme Hanya Boleh Kutip Omongan Jubir

Nasional
KPK Sita Rumah Mewah SYL Seharga Rp 4,5 M di Makassar

KPK Sita Rumah Mewah SYL Seharga Rp 4,5 M di Makassar

Nasional
Sedih Wakil Tersandung Kasus Etik, Ketua KPK: Bukannya Tunjukkan Kerja Pemberantasan Korupsi

Sedih Wakil Tersandung Kasus Etik, Ketua KPK: Bukannya Tunjukkan Kerja Pemberantasan Korupsi

Nasional
Profil Indira Chunda Thita Syahrul, Anak SYL yang Biaya Kecantikan sampai Mobilnya Disebut Ditanggung Kementan

Profil Indira Chunda Thita Syahrul, Anak SYL yang Biaya Kecantikan sampai Mobilnya Disebut Ditanggung Kementan

Nasional
Cak Imin: Larang Investigasi dalam RUU Penyiaran Kebiri Kapasitas Premium Pers

Cak Imin: Larang Investigasi dalam RUU Penyiaran Kebiri Kapasitas Premium Pers

Nasional
Mantan Pegawai Jadi Tersangka, Bea Cukai Dukung Penyelesaian Kasus Impor Gula Ilegal

Mantan Pegawai Jadi Tersangka, Bea Cukai Dukung Penyelesaian Kasus Impor Gula Ilegal

Nasional
Temui Jokowi, GP Ansor Beri Undangan Pelantikan Pengurus dan Bahas Isu Kepemudaan

Temui Jokowi, GP Ansor Beri Undangan Pelantikan Pengurus dan Bahas Isu Kepemudaan

Nasional
Grace Natalie dan Juri Ardiantoro Akan Jalankan Tugas Khusus dari Jokowi

Grace Natalie dan Juri Ardiantoro Akan Jalankan Tugas Khusus dari Jokowi

Nasional
Jadi Saksi Karen Agustiawan, Jusuf Kalla Tiba di Pengadilan Tipikor

Jadi Saksi Karen Agustiawan, Jusuf Kalla Tiba di Pengadilan Tipikor

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Sita 66 Rekening, 187 Tanah, 16 Mobil, dan 1 SPBU

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Sita 66 Rekening, 187 Tanah, 16 Mobil, dan 1 SPBU

Nasional
Mengganggu Pemerintahan

Mengganggu Pemerintahan

Nasional
Daftar Aliran Uang Kementan kepada 2 Anak SYL, Capai Miliaran Rupiah?

Daftar Aliran Uang Kementan kepada 2 Anak SYL, Capai Miliaran Rupiah?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com