Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ihwal Budaya Politik Kita

Kompas.com - 27/03/2014, 10:54 WIB

Oleh:

KOMPAS.com - DALAM hitungan hari, bangsa ini akan menyelenggarakan hajat politik ”besar” lima tahunan. Jika tidak ada aral melintang, kita akan memilih anggota legislatif secara serentak pada 9 April.

Memperhatikan apa yang terpampang di baliho-baliho dan spanduk yang tersebar di setiap sudut kota, tampaknya kita siap disuguhi repetisi lima tahunan: tidak akan terjadi apa pun dalam hal perbaikan kualitas demokrasi kita.

Momen pemilu tampaknya tidak akan menerbitkan harapan dan optimisme baru, terutama bagi masyarakat kebanyakan. Sebaliknya, ia hanya mengundang pesimisme yang sama dengan lima tahun lalu: ketika kader-kader parpol dengan lantang mengatakan ”tidak” pada korupsi, tetapi justru berada di garda depan dalam episentrum korupsi. Oleh karena itu, agar tidak kecewa di kemudian hari, sebaiknya kita jangan terlalu bersemangat menaruh harapan berlebihan kepada calon-calon anggota legislatif untuk melakukan perubahan mendasar dalam struktur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Metamorfosis

Bagi para calon anggota legislatif yang hendak bertarung di gelanggang politik kekuasaan, menyadari konstelasi politik mutakhir menjadi sesuatu yang imperatif agar mereka bisa belajar dari para senior mereka. Tujuannya cuma satu: tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan para pendahulunya.

Harus ada perubahan mendasar di tingkat paradigmatik agar masyarakat mau ”membeli” apa yang mereka tawarkan. Jika mereka mengabaikan pengetahuan semacam ini, dapat dipastikan yang terjadi adalah repetisi dan replikasi belaka.

Melalui karyanya yang sudah menjadi klasik, Benedict RO’G Anderson dalam Language and Power (2006: 47-50) menegaskan bahwa Indonesia menganut budaya politik patrimonial atau klientilisme (pola relasi patron-klien). Pola relasi antara patron dan klien didasari oleh kebutuhan saling menggantungkan, tetapi juga saling menguntungkan. Dengan memanfaatkan otoritas formal yang digenggamnya, sang patron bertindak sebagai pengayom, pelindung, atau penjamin eksistensi si klien. Sebaliknya, si klien berkewajiban menopang eksistensi sang patron. Jika salah seorang di antara keduanya runtuh, maka yang lain juga ikut runtuh.

Weber (Economy and Society, 1978: 227) mendefinisikan patrimonialisme sebagai pola kekuasaan yang dicirikan oleh ketaatan kepada pemimpin tradisional bukan karena otoritas legal-formal yang melekat pada sebuah posisi struktural, melainkan karena pribadinya. Budaya politik patrimonialistik dicirikan oleh empat hal: (1) kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya (resources exchange); (2) kebijakannya bersifat partikularistik, tidak universalistik; (3) penegakan hukum bersifat sekunder; dan (4) penguasa politik sering kali mengaburkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

Pola kekuasaan patrimonialistik di masa Orde Baru dapat dilihat dari masifnya kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh banyak individu yang duduk dalam sistem birokrasi dan lembaga politik dengan cara memanfaatkan otoritas formal yang dipikulnya untuk kepentingan dirinya dan orang-orang terdekat. Modus kejahatan yang dilakukan dapat dilihat secara kasatmata dari rekam jejak individu dengan cara memanipulasi kekuasaan yang digenggamnya tanpa melibatkan struktur formal yang didudukinya. Seorang pemimpin daerah bisa memiliki kekayaan yang teramat fantastis akibat jabatan formal yang dimilikinya.

Harus diakui, paradigma politik-kekuasaan di era reformasi ini belum mengalami perubahan signifikan ke arah lebih baik. Reformasi birokrasi melalui pengenalan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan bersih (good and clean governance) ternyata hanya menggeser paradigma politik-kekuasaan dari patrimonialisme ke neopatrimonialisme. Persis seperti pepatah ”menuangkan anggur lama ke dalam botol baru” (pouring the old wine into a new bottle). Jika patrimonialisme berjalan secara individual, maka neopatrimonialisme berjalan secara formal-struktural. Artinya, terdapat pencampuran antara dominasi patrimonial dan birokrasi legal-rasional (Erdmann & Engel, 2006: 18).

Dalam budaya politik neopatrimonialistik, modus kejahatan pun berjalan lebih sistemik, struktural, dan bertali-temali dengan lembaga lain. Jika korupsi pada masa Orde Baru bisa diurai melalui aktor-aktor individu, maka modus korupsi di era Reformasi melibatkan struktur politik birokrasi yang jauh lebih canggih, rumit, dan subtil. Korupsi dilakukan bukan secara individual dan dapat diendus secara individual pula, melainkan secara institusional-struktural.

Aspek lain yang membedakan neopatrimonialisme dari patrimonialisme terletak pada pola loyalitas politik antara si klien kepada sang patron. Pada kekuasaan patrimonialistik, pola ketaatan klien kepada patron sering kali didasarkan pada nilai-nilai tradisional dan primordial. Sementara itu, pada kekuasaan neopatrimonial, pola ketaatan klien kepada patron murni didasari oleh motif-motif ekonomi dan pragmatisme rasional. Dengan demikian, terdapat pertimbangan pilihan rasional di balik pola relasi patron-klien.

Mengakhiri budaya politik (neo)patrimonialistik bukan perkara mudah. Sejauh ini negara (baca: pemerintah) bukan tidak melakukan upaya sama sekali untuk memperbaiki budaya politik kita. Reformasi birokrasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan bersih sebenarnya telah gencar dilakukan di berbagai lini.

Penambahan insentif juga telah diobral besar-besaran di lembaga-lembaga formal melalui program remunerasi. Akan tetapi, itu semua tidak mengubah budaya politik kita secara signifikan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com