JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari dianggap mengingkari aturannya sendiri berkait pernyataannya mengenai status caleg terpilih jelang Pilkada 2024.
Sebelumnya, Hasyim menyebut caleg terpilih yang mencalonkan diri pada Pilkada 2024 tak berkewajiban melepas kursi dewan yang ia raih untuk periode 2024-2029.
Pasalnya, dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Jadwal dan Tahapan Pemilu 2024, KPU RI telah mengatur pelantikan caleg DPR dan DPD RI terpilih hasil Pileg 2024 dilakukan pada 1 Oktober 2024, sesuai akhir masa jabatan anggota dewan periode sebelumnya.
Baca juga: Ketua KPU: Caleg Terpilih Tak Perlu Mundur jika Maju Pilkada 2024
Lalu, pelantikan caleg DPRD dilangsungkan menyesuaikan akhir jabatan anggota dewan di masing-masing wilayah tersebut.
Pada Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2024 tentang Penetapan Calon Terpilih Hasil Pemilu, KPU juga menyebutkan bahwa pelantikan susulan hanya dilakukan jika calon anggota DPR/DPD/DPRD terpilih menjadi tersangka tindak pidana korupsi.
Sementara itu, Hasyim berujar bahwa Indonesia tidak mempunyai aturan tentang pelantikan anggota dewan secara serentak.
Dengan anggapan ini, maka caleg terpilih yang maju pilkada bisa dilantik belakangan, menunggu hasil perolehan suaranya di Pilkada 2024 5anpa harus kehilangan kursi dewan.
Baca juga: Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada
"Esensi pemilu serentak itu adalah pada keserentakan tahapan pemilu temasuk untuk pelantikan anggota DPR, DPD, dan DPRD sesuai akhir masa jabatannya masing-masing," kata pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, kepada Kompas.com, Sabtu (11/5/2024).
"Kalau kemudian pelantikan dilakukan tidak serentak dan bisa disusulkan karena kepentingan maju pilkada bukan karena alasan darurat atau luar biasa, maka jelas itu merupakan pelanggaran berat atas konsep keserentakan pemilu," jelasnya.
Sebagai informasi, caleg DPR dan DPD RI terpilih hasil Pileg 2024 seyogianya dilantik secara resmi serentak pada 1 Oktober 2024, tepat pada akhir masa jabatan anggota DPR dan DPD RI periode sebelumnya.
Sementara itu, pemungutan suara Pilkada 2024 berlangsung pada 27 November 2024.
Baca juga: Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional
Berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024, KPU diminta mempersyaratkan caleg terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan, bahwa ia bersedia mundur "jika telah dilantik secara resmi" menjadi anggota dewan.
Akan tetapi, KPU membuka tafsir bahwa frasa "jika telah dilantik secara resmi" ini memungkinkan caleg terpilih tidak hadir pelantikan anggota dewan pada jadwal yang ditentukan, sehingga dirinya tak perlu mundur karena masih mencoba peruntungan di Pilkada 2024.
"Bila pada 1 Oktober 2024 belum dilantik, maka status (yang bersangkutan) masih sebagai calon terpilih (sehingga tak perlu mundur jika maju Pilkada 2024). Lha, kan, belum dilantik dan menjabat, lalu mundur dari jabatan apa," kata Hasyim kepada Kompas.com, Jumat (10/5/2024).
"Yang wajib mundur adalah anggota (dewan). Anggota adalah calon terpilih yang sudah dilantik (pengucapan sumpah/janji)," kata Hasyim.
Ia menegaskan, selain tidak terdapat aturan bahwa anggota dewan harus dilantik secara serentak, tidak ada pula larangan bahwa anggota dewan dapat dilantik belakangan setelah kalah dalam pilkada.
"Caleg dicalonkan oleh parpol. Calon kepala daerah dicalonkan oleh parpol. Bagaimana bila parpol mengajukan surat yang menginformasikan bahwa calon terpilih belum dapat hadir pelantikan (pengucapan sumpah janji)?" ujar Hasyim.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3), pelantikan/pengucapan sumpah/janji anggota dewan dilakukan "secara bersama-sama".
Namun demikian, UU MD3 juga membuka opsi bahwa anggota dewan yang "berhalangan" hadir pelantikan secara bersama-sama, mengucapkan janji/sumpah secara terpisah.
Titi menegaskan, beleid tersebut tidak dapat dijadikan dalih bagi caleg terpilih mengamankan kursinya dengan tidak dilantik agar tetap dapat maju di pilkada.
"Berhalangan itu jelas bukan karena menunda pelantikan karena maju pilkada. Berhalangan menurut KBBI adalah ada rintangan sehingga suatu rencana tidak terlaksana. Sedangkan maju pilkada bukanlah rintangan pelantikan sehingga harus disusulkan sebab sudah aturan yang jelas soal itu," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.