KOMPAS.com - Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Sobandi mengatakan, pihaknya sudah melaksanakan transformasi digital selama sepuluh tahun terakhir. Berbagai layanan digital dihadirkan untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan pengadilan.
"Sebut saja e-Court dan e-Berpadu yang disediakan oleh MA bagi masyarakat untuk mengakses keadilan kapan dan di mana saja dengan biaya murah. Pimpinan MA memberikan apresiasi atas perubahan tersebut seraya 'bermimpi' kiranya akan terjadi pula perubahan pada budaya kerja dari seluruh aparatur peradilan," tutur Sobandi melalui keterangan persnya, Senin (25/9/2023).
Oleh karenanya, sebut dia, bisa dikatakan bahwa MA telah berhasil menjadikan lembaga peradilan sebagai epicentrum of justice atau tempat idaman di mana masyarakat bisa mencari keadilan.
"Ketua MA saat ini, Syarifuddin, meminta seluruh aparatur peradilan untuk berlomba-lomba menciptakan inovasi pelayanan berbasis teknologi informasi (TI) yang bermanfaat bagi masyarakat. 'Berkreasilah, ciptakan yang terbaik. Jika inovasi itu bagus dan bermanfaat, bisa dijadikan aplikasi nasional', begitu pesan Beliau," jelas Soebandi.
Baca juga: Syarat, Formasi, dan Cara Daftar CPNS Mahkamah Agung 2023
Ia menilai, TI memberikan kemudahan hampir di semua sektor kehidupan, salah satunya industri atau usaha. TI bahkan berhasil memudahkan birokrasi pemerintahan menjadi lebih efisien dan sederhana.
Kemudahan akibat TI itu, disebut Sobandi, merupakan wajah baru ilmu pengetahuan dunia yang bisa menerka disrupsi serta kebutuhan-kebutuhan masa mendatang secara akurat.
"Pertanyaannya, apakah MA dapat menerka apa kebutuhan masyarakat dalam dunia peradilan di masa depan dan bagaimana cara untuk memenuhinya?" tutur dia.
Sobandi menjelaskan, era disrupsi terjadi ketika banyak perubahan terjadi karena banyaknya inovasi hebat yang merubah sistem dan tatanan kehidupan masyarakat secara luas.
Kata disrupsi pertama kali diperkenalkan oleh Clayton Christensen melalui bukunya yang berjudul The Innovator’s Dilemma (1971).
Baca juga: 15 Jurusan S1 Paling Dicari CPNS 2023 Mahkamah Agung
Kemudian, Rhenald Kasali menulis buku Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber (2017) yang menjelaskan bahwa disrupsi merupakan sebuah teori untuk memprediksi masa depan, ketika hal-hal baru mengubah hal-hal lama menjadi kuno.
"Perubahan yang begitu cepat melahirkan berbagai terobosan di banyak bidang, yang memberikan solusi efektif dan ekonomis bagi permasalahan yang dihadapi oleh banyak orang," jelas Sobandi.
Dalam buku yang ditulis Kasali, sebut dia, terdapat contoh mengenai perubahan bisnis transportasi setelah lahirnya Uber. Inovasi ini dianggap mampu menjawab kebutuhan transportasi banyak orang.
"Model bisnisnya adalah menggunakan aplikasi yang memangkas banyak biaya, sehingga harga produk dan jasa menjadi lebih murah. Sebuah pasar baru dari masyarakat kelas bawah pun mulai terbentuk harga lebih murah dan kualitas yang tidak kalah baik," jelasnya.
Baca juga: Mahkamah Agung Meksiko Tolak Kriminalisasi Aborsi
Sobandi pun mencontohkan, GoJek sebagai salah satu startup mampu melayani kebutuhan calon penumpangnya yang tersebar luas. Layanan yang ditawarkan pun beragam, mulai dari pesan-antar makanan, jasa pijat, jasa pindahan, dan lain-lain.
Meski demikian, kehadiran GoJek mendisrupsi ojek pangkalan (opang) yang telah eksis selama bertahun-tahun lamanya.
"(Sama halnya) dengan Grab yang mendisrupsi keberadaan perusahaan-perusahan taksi dan mampu melemahkan perusahaan sekelas Bluebird," tutur dia.
Kemudian, di bidang perdagangan barang, Tokopedia dan Shopee berhasil menyediakan lahan untuk para pemasok kecil dan melayani semua kebutuhan konsumen yang sudah mulai terbiasa berbelanja secara online.
"(Kondisi ini) kemudian menyebabkan supermarket konvensional terdisrupsi. Pasar lainnya adalah perubahan telegraf menjadi telepon, menjadi ponsel, kemudian menjadi smartphone," lanjutnya.
Baca juga: CPNS Mahkamah Agung 2023: Perincian Formasi dan Syarat Pendidikan
Perubahan masif mulai terasa sejak munculnya revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan kemajuan teknologi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam buku berjudul Disruptive Technology: Effect of Technology Regulation on Democracy (2006) yang ditulis Mathias Klang, Cowan Schwartz menjelaskan, disrupsi teknologi akan berdampak terhadap keadaan sosial yang ada di sekitarnya.
"Disrupsi teknologi menuntut manusia untuk segera beradaptasi, agar tidak tertinggal oleh perubahan yang terjadi sedemikian cepat. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan telah meminta kementerian dan lembaga negara untuk bersiap menghadapi disrupsi dengan menciptakan berbagai inovasi," tutur Sobandi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.