JAKARTA, KOMPAS.com - Politik konfrontasi yang dilancarkan Presiden Soekarno terhadap kekuatan Blok Barat yang dianggap ingin menjalankan agenda Neokolonialisme dan Neoimperialisme turut memakan korban musikus dalam negeri.
Pada masa itu, kelompok musik Koes Plus atau Koes Bersaudara seolah menjadi duri dalam daging oleh pemerintahan Orde Lama.
Pada kurun 1960 sampai 1965, Presiden Soekarno sedang gencar mengkampanyekan merebut Irian (kini Papua) dari tangan Belanda. Selain itu, dia juga menentang pembentukan negara Federasi Malaysia oleh Inggris yang didukung Amerika Serikat.
Sedangkan di dalam negeri terjadi transisi dari praktik demokrasi liberal atau parlementer ke arah demokrasi terpimpin. Selain itu juga tengah berkecamuk berbagai pemberontakan.
Baca juga: Sumbang Lagu Koes Plus Saat Syukuran Ultah, SBY Minta Saweran
Menurut pandangan Soekarno, popularitas irama rock n roll seperti yang dimainkan grup musik The Beatles asal Liverpool, Inggris, Barat yang saat itu tengah menanjak adalah wujud dari imperialisme budaya.
Bahkan Soekarno mencibir musik ala The Beatles sebagai irama "ngak ngik ngok".
Ketidaksukaan Soekarno terhadap musik-musik ala Barat itu diungkapkan dalam pidato peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1959.
"Dan engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau yang tentunya anti-imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik; kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock n roll, rock n roll-an, dansi- dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainya lagi? Kenapa di kalangan engkau banjak yang gemar membaca tulisan-tulisan dari luaran, yang nyata itu adalah imperialisme kebudayaan?" kata Soekarno.
Baca juga: Murry Koes Plus dalam Kenangan Jokowi
Pada saat itu grup band Koes Plus tengah naik daun karena beberapa tembangnya tenar melalui siaran radio.
Mereka pun kerap dipanggil buat mengisi alunan musik di sejumlah lokasi.
Akan tetapi, saat itu Presiden Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden Nomor 11/1963 KUHP yang melarang musik-musik berbau Barat dinyanyikan.
Alasannya adalah lagu-lagu seperti milik Elvis Presley atau The Beatles tidak menunjukkan karakter budaya Indonesia, mengajarkan hura-hura, kontra-revolusi, dan merupakan produk negara Barat seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Kemudian pada 14 Maret 1965, Koes Plus diberitakan membawakan tembang The Beatles di sebuah restoran di Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat.
Baca juga: Koes Plus Meriahkan Tahun Baru di Kendal
Menurut pemberitaan surat kabar Harian Rakyat, koran resmi Partai Komunis Indonesia (PKI), tindakan Koes Plus melantunkan lagu-lagu The Beatles dianggap memberikan kesan buruk terhadap budaya Indonesia.
Koes Plus pun sempat dipanggil aparat dan diperiksa akibat menyanyikan lagu-lagu The Beatles. Saat itu mereka berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Akan tetapi, menurut pemberitaan Kompas pada 30 Juni 1965, dalam sebuah pagelaran di wilayah Jati Petamburan, mereka kembali membawakan lagu-lagu The Beatles.
Karena hal itulah kemudian Kejaksaan Tinggi/Istimewa Jakarta memanggil dan memeriksa kemudian menahan 3 personel Koes Plus, yaitu Tonny Koeswoyo, Yon Koeswoyo, dan Yok Koeswoyo pada 29 Juni 1965.
Personel keempat, Nomo Koeswoyo yang baru 3 hari keluar dari penjara akibat terlibat kecelakaan jalan raya kemudian mendatangi Kejaksaan Tinggi dan menyerahkan diri. Dia juga ikut ditahan bersama ketiga saudaranya.
Baca juga: Jokowi Melayat ke Makam Murry Koes Plus
Para personel Koes Plus ditahan karena nekat membawakan lagu-lagu The Beatles yang dianggap bertentangan dengan semangat revolusi. Surat penahanan mereka diteken oleh Kepala Kejaksaan Tinggi, Aroean.
Aparat juga menyita alat-alat musik yang digunakan para personel Koes Plus.
Saat itu kantor Kejaksaan Tinggi masih berlokasi di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Keempatnya kemudian digelandang ke Lembaga Pemasyarakatan Glodok.
Mereka dibui selama 3 bulan dan baru dibebaskan pada 27 September 1965, 3 hari sebelum peristiwa Gerakan 30 September.
Baca juga: Jokowi Melayat ke Makam Murry Koes Plus
Meski dibebaskan, status hukum keempat personel Koes Plus saat itu masih bermasalah.
Koes Plus baru bisa bernapas lega setelah Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta memutuskan mendeponering (mengesampingkan) delik yang menjerat mereka pada 16 Mei 1966.
Akan tetapi, saat itu gerak-gerik Koes Plus masih diawasi oleh aparat.
Menurut surat kabar Kompas, Pejabat Sementara Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sianturi SH., menyatakan Koes Plus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar aturan hukum. Maka dari itu perkara mereka kemudian dikesampingkan.
Baca juga: Lirik dan Chord Lagu Cintamu Telah Berlalu - Koes Plus
Aparat juga mengembalikan seluruh peralatan musik yang disita dari Koes Plus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.