JAKARTA, KOMPAS.com - Hubungan TNI dan Polri belakangan ini tengah mendapat sorotan tajam usai rentetan bentrokan yang melibatkan sejumlah personel.
Ironisnya, bentrokan terjadi pada waktu yang cukup berdekatan.
Bentrokan pertama terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (14/4/2023). Sejumlah personel TNI merusak kendaraan, pos, hingga kantor Polri yang dipicu kesalahpahaman.
Bentrokan juga terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (19/5/2023).
Akibat bentrokan ini, empat anggota polisi terluka, tiga sepeda motor dibakar, satu mobil patroli polisi dibakar, satu mobil dibakar, tiga Pos Polisi dirusak.
Seperti yang terjadi di Makassar, pemicu bentrokan ini karena kesalahpahaman antara anggota polisi dan Polisi Militer TNI AD pada pertandingan futsal di GOR Oepoi Kupang.
Lalu disusul peristiwa penyerangan yang terjadi di Mapolres Jeneponto, Sulawesi Selatan pada Kamis, (27/4/2023), sekira pukul 01.45 WITA. Penyerangan diduga dilakukan oleh orang tak dikenal (OTK).
Lantas, apa akar permasalahan yang membuat personel TNI dan Polri mudah berselisih?
Peristiwa bentrokan antara personel TNI dan Polri sering kali dianggap selesai usai terdapat kesepakatan damai.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebut penyelesaian damai, dalam artian bermaaf-maafan, bukanlah contoh yang baik bagi pembangunan kepatuhan hukum, baik di internal TNI-Polri maupun pada masyarakat.
Fahmi menyatakan bahwa hukum harus ditegakkan pada siapa pun yang bersalah dan melakukan perbuatan melawan hukum.
Baca juga: Bentrokan TNI dan Polri di Kupang, 10 Saksi Diperiksa
Sebaliknya, para pimpinan terutama di lapangan harus mampu memberi teladan dan meningkatkan pengawasan.
"Bukan malah membiarkan atau malah memfasilitasi arogansi dan aksi main hakim sendiri," ujar Fahmi kepada Kompas.com, Rabu (3/5/2023).
Fahmi mengatakan, TNI dan Polri pada dasarnya didesain sebagai alat kekerasan negara dalam rangka menegakkan kedaulatan, menjaga keutuhan wilayah, melindungi masyarakat, memelihara keamanan dan menegakkan hukum.
Permasalahannya, kata dia, ego sektoral itu ternyata juga memunculkan kecemburuan satu sama lain, terutama menyangkut isu kesejahteraan dan kewenangan.
Sebagai "alat pemukul", Fahmi menuturkan, TNI dan Polri ditempa untuk bermental juara serta didoktrin bahwa kekalahan adalah hal yang memalukan.
Menurutnya, hal itu wajar karena mereka disiapkan untuk mampu menangkal, menghalau setiap ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan negara, menghentikan gangguan keamanan, menjaga ketertiban dan menindak perbuatan melawan hukum.
Baca juga: 2 Oknum Anggota TNI Cekcok dengan Polisi di Jeneponto, Pangdam Hasanuddin: Ada Kesalahpahaman
Dengan begitu, menghilangkan "budaya" kekerasan di lingkungan TNI-Polri dinilai gagasan naif.
Fahmi beralasan bahwa mereka ditempa untuk mampu melakukan kekerasan yang sepatutnya, sehingga yang masih mungkin dilakukan adalah meminimalisir peluang tindakan impulsif dan kekerasan eksesif.
"Di antaranya dengan memperkuat nilai-nilai moral dan integritas seperti malu melakukan kesalahan dan kecurangan," tegas dia.
Fahmi juga menilai pangkal permasalahan lain karena mental kompetitif dan potensi kekerasan antara dua "kelompok kuat".
Menurutnya, permasalahan ini masih sangat mungkin dikelola dan dialihkan pada hal-hal yang lebih positif dan berorientasi pada prestasi.
Karena itu, ia meminta para prajurit terus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap TNI. Mengingat, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap TNI masih yang tertinggi untuk saat ini.
“Kejadian bentrok, arogansi, dan emosi yang diawali hal sepele akan menyakiti hati rakyat dan akan memengaruhi kepercayaan rakyat,” ujar Yudo dalam pengarahannya kepada jajaran di Wisma A. Yani, Jakarta Pusat, Senin (1/5/2023), dikutip dari siaran pers Pusat Penerangan TNI.
Baca juga: Panglima TNI ke Prajurit: Bentrok dan Arogansi yang Diawali dari Hal Sepele Akan Sakiti Hati Rakyat
Yudo juga mengatakan, kepercayaan negara dan masyarakat terhadap TNI perlu dipertanggungjawabkan.
Menurutnya, negara dan rakyat telah mempercayakan keutuhan dan kedaulatan negara kepada TNI, sehingga perlu dipertanggungjawabkan dengan tugas TNI yang maksimal dan jangan digoyahkan oleh oknum-oknum dengan perilaku karena hati yang pongah.
Untuk itu, Yudo menekankan agar seluruh prajurit TNI dapat menjalankan tugas secara profesional.
“Pimpinan satuan jajaran TNI agar terus mempertajam rantai komando dengan tidak mudah terprovokasi, tegakan reward dan punishment, laksanakan pengawasan melekat (waskat) dan cegah, deteksi dini serta laporkan ke komando atas," kata Yudo.
"Libatkan dinas hukum agar prajurit melek hukum. Bina, bimbing, arahkan prajurit agar memiliki jiwa korsa positif. Jaga soliditas TNI-Polri dan instansi lainya," imbuh dia.
(Penulis: Nirmala Maulana Achmad | Editor: Bagus Santosa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.