Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Katakan Tidak Pada(hal) Korupsi, (Pada)hal Gorden Pun Mau

Kompas.com - 06/04/2022, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENAMPILANNYA begitu dikagumi banyak orang. Sudah cantik, wangi, pintar dan terpilih menjadi anggota Dewan pula.

Selama menjadi elite partai, komentar-komentar politiknya begitu bernas, bahkan lugas. Bak flamboyan, kehadirannya di parlemen semula diharapkan menjadi “oase” bagi minimnya politisi perempuan yang berkualitas.

Nasib na’as menimpanya. Belitan kasus rasuah membuatnya menjadi pesakitan. Tidak ada pembelaan dari partainya, apalagi sahabat-sahabat dekatnya di jantung kekuasaan.

Iklannya yang sempat “wara-wiri” di layar kaca untuk mengkampanyekan gerakan antikorupsi justru menjadi bumerang.

Bersama bintang-bintang lainnya di iklan tersebut, malah di antaranya menjadi pelaku mega korupsi Wisma Atlet Sea Games 2011 di Jakabaring, Palembang.

Yah, dialah model dan Putri Indonesia 2001 Angelina Patricia Pinkan Sondak atau yang biasa disapa Angie. Terpilih sebagai anggota DPR-RI selama dua periode 2004-2009 serta 2009-2014.

Setelah menyelesaikan masa hukumannya selama 10 tahun, Angie kembali “menggebrak” tentang kisah masa lalunya di parlemen.

“Sangat kotor” begitu istri mendiang aktor sekaligus politisi Ajie Massaid itu untuk menyebut DPR sebagai tempat kuman korupsi berada.

Angie membenarkan Badan Anggaran (Banggar) DPR adalah tempat paling gampang mencari “fulus”.

Uang begitu mudah terjaring dari proses-proses negosiasi. Bahkan Angie berkesimpulan, semua orang yang terkena korupsi pasti berhubungan dengan anggota Banggar DPR (Kompas.com, 03/04/2022).

Mantan wakil sekretaris jenderal di partai besutan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono itu berkisah banyak pihak yang justru mencari-cari anggota Banggar untuk menegosiasikan setiap anggaran dari program-program pemerintah.

Angie ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan pengembangan penyidikan kasus dugaan suap Wisma Atlet yang menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Setelah melalui serangkaian persidangan, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akhirnya menjatuhkan palu vonis hukuman 4 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan pada Angie pada 10 Januari 2013.

Semula jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Angie dihukum 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan karena melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima pemberian uang senilai Rp 2,5 miliar dan 1,2 juta dolar Amerika Serikat dari perusahaan milik Nazaruddin.

Di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA), hukuman Angie diperberat oleh majelis hakim di antaranya beranggotakan Artidjo Alkostar menjadi 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta.

Upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Angie, berbuah “korting” hukuman menjadi 10 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Kini Angie yang sekarang begitu berbeda dengan “Angie” yang dulu. Ada kelapangan hidup, menerima kenyataan hidup dengan apa adanya.

Jika dulu merasa “dikorbankan” dan merasa sendiri, kini di hari-harinya usai pembebasan Angie banyak menghabiskan waktu bersama buah hatinya.

Angie seperti terlahir kembali, tidak “kotor” lagi tetapi mencoba terus menjadi “bersih”.

DPR harusnya steril dari rasuah

Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin memakai rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (25/9/2021). KPK resmi menahan Azis Syamsuddin sebagai tersangka setelah dijemput paksa oleh tim penyidik atas kasus dugaan suap penanganan perkara di Kabupaten Lampung Tengah. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras.Rivan Awal Lingga Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin memakai rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (25/9/2021). KPK resmi menahan Azis Syamsuddin sebagai tersangka setelah dijemput paksa oleh tim penyidik atas kasus dugaan suap penanganan perkara di Kabupaten Lampung Tengah. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras.
Seperti berharap tidak lagi terjadi di era sekarang, tentu harapan Angie agar DPR tidak lagi “kotor” adalah harapan semua kalangan yang begitu peduli dengan kualitas anggota DPR sekarang.

Hingga akhir 2021, saling kelindan anggota Banggar DPR dengan kasus korupsi baru terkuak lagi dari pengembangan kasus suap penanganan perkara di Lampung Tengah yang melibatkan bBekas Ketua DPR Azis Syamsuddin.

Bahkan Ketua KPK Firli Bahuri menyebut kemungkinan akan membidik anggota Banggar terkait kasus Aziz Syamsuddin (Sindonews.com, 25 September 2021).

Sayangnya, pernyataan petinggi KPK itu baru sebatas pernyataan “kosong” yang hanya dikemas untuk kelayakan berita.

Nyatanya sampai sekarang, bidikan KPK “tong kosong nyaring bunyinya”. Entah karena KPK tidak menemukan temuan kasus baru atau memang anggota Banggar sudah bertobat dan antisogok

Hanya saja vonis “ringan” yang diterima Azis Syamsuddin dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta tidak menguak lebih jauh “permainan” Dana Alokasi Khusus untuk Kabupaten Lampung Tengah yang dimainkan Azis dan kaki tangannya.

Terkesan “kekotoran” seperti yang dialami di era Angie tidak terjadi lagi di masa sekarang.

Survei terbaru dari Indikator Politik menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanyalah sebesar 61 persen, sementara untuk TNI mencapai 93 persen, Presiden 85 persen, Mahkamah Agung 79 persen serta Mahkamah Konstitusi 78 persen.

Banyaknya elite partai politik dan DPR yang tersangkut kasus korupsi menjadi salah satu penyebab tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan DPR berada di titik nadir.

Survei yang diadakan sepanjang 11 – 21 Februari 2022 itu menjangkau 1.200 responden (CnnIndonesia.com, 3 April 2022).

Anggaran gorden yang fantastis

Semula saya berharap ada anggota Dewan yang ramai-ramai menolak penggantian gorden di rumah jabatan anggota DPR.

Bukan apa-apa, pagu anggaran penggantian gorden untuk 505 unit rumah jabatan sebesar Rp 48,7 miliar.

Artinya setiap rumah dinas DPR mendapat alokasi biaya penggantian gorden sebesar Rp 90 juta termasuk pajak (Kompas.com, 28 Maret 2022).

Tetapi harapan saya ternyata meleset dan sepertinya setiap anggota Dewan memang memerlukan gorden untuk penutup rumah dinasnya yang jarang ditempati.

Di saat hutang negara per 28 Februari 2022 mencapai Rp 7.014,58 triliun, di saat harga-harga kebutuhan pokok seperti bahan bakar minyak (BBM) dan gas melambung naik , minyak goreng dan solar tetap susah dicari, DPR begitu abai dengan keadaan yang terjadi.

Memang ulah Sekretariat Jenderal DPR yang menganggarkan pembelian gorden senilai Rp 48,7 miliar layak untuk disorot.

Penggunaan keuangan negara secara “ugal-ugalan” untuk setiap rumah jabatan anggota Dewan dengan 11 macam gorden, yang masing-masing akan dipasang di jendela ruang tamu, pintu jendela ruang keluarga, jendela ruang kerja, ruang tidur utama, jendela dapur, dan jendela void tangga di lantai satu.

Sementara di lantai dua, gorden akan dipasang di jendela tiga ruang tidur anak, jendela void ruang keluarga dan jendela ruang tidur asisten rumah tangga seperti “mentertawakan” akal sehat kita.

Sudah begitu miskinnya anggota Dewan hingga soal gorden pun harus dibelikan oleh negara?

Alasan penggantian gorden juga bisa membuat pemain stand up commedy bisa kehilangan pekerjaan karena kalah lucu dengan pernyataan Sekretariat Jenderal DPR.

Penggantian gorden terpaksa dilakukan karena sejak tahun 2009 tidak pernah menggalami penggantian.

“Selain tidak tega menyampaikan, gorden yang berumur 13 tahun itu seperti kain pel,” ungkap Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar.

Belum lagi ada curhat dari anggota Dewan yang meminta penggantian gorden karena suasana dalam rumah dapat terlihat dari luar akibat tidak ada gorden (Kompas.com, 29 Maret 2022).

Beda dalam hal durasi umur gorden yang akan diganti, justru Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut gorden di rumah jabatan anggota DPR di Kalibata, Jakarta belum bersalin sejak 2015.

Pengadaan gorden baru dilakukan tahun ini karena anggarannya tidak mencukupi pada tahun-tahun sebelumnya.

Kondisi gorden di rumah jabatan sudah lama dikeluhkan oleh para koleganya di Senayan, baik di periode yang lalu maupun peride sekarang (Kompas.com, 28 Maret 2022)

Selain gorden, DPR juga mengalokasikan anggaran sebesar Rp 11 miliar untuk pelapisan aspal di lingkungan parlemen Senayan serta Rp 3,03 miliar untuk pengadaan AC di rumah jabatan anggota Dewan.

Menjadi anggota Dewan tidak saja cukup menjadikan korupsi sebagai “kuman” yang berbahaya tetapi juga harus ada keberpihakkan terhadap ketidakadilan dan sensitif dengan kondisi di masyarakat.

Belajarlah dari kesederhanaan Ir Sutami

Walau menjadi pejabat sejak era Soekarno tepatnya sejak era Kabinet Dwikora tahun 1964 dengan menjabat Menteri Negara diperbantukan pada Menteri Koordinator Pekerjaan Umum dan Tenaga untuk urusan penilaian konstruksi dan terus berlanjut di masa Soeharto, nyatanya Sutami tetaplah Sutami yang “miskin”.

Saking sederhananya, atap rumah yang ditinggali di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, kerap bocor dan terdapat banyak ember dan panci untuk menampung limpahan air yang bocor.

Pernah menjabat enam kali sebagai Menteri nyatanya pula rumah tersebut baru lunas usai pensiun dan itu pun dicicil.

Rumah masa kecilnya di Surakarta juga pernah dicabut aliran listriknya karena masih menunggak pembayaran iuran PLN.

Lebih miris lagi, Sutami sempat takut dirawat di rumah sakit karena tidak mempunyai uang untuk membayar biaya rumah sakit.

Setelah pemerintah turun tangan, barulah Sutami bersedia dirawat di rumah sakit (Kompas.com, 15 Juni 2020).

Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu tidak pernah mau memanfaatkan fasilitas negara secara berlebihan.

Saat pensiun tahun 1978, Sutami mengembalikan fasilitas negara yang pernah diterimanya.

Sutami wafat karena sakit lever yang dideritanya pada tanggal 13 November 1980 di saat usianya masih 52 tahun.

Tidak hanya Jembatan Semanggi, Waduk Jatiluhur, Jembatan Ampera Palembang dan Bandara Ngurah Rai yang dibangun di era Sutami.

Gedung DPR yang dihuni anggota Dewan yang sekarang meminta “penggantian” gorden pun dibangun dari tangan Sutami.

Kubah Gedung DPR yang berwarna hijau seperti kura-kura yang sempat dinaiki “demonstran” saat menuntut Soeharto mundur pada 1998 juga menjadi salah satu bukti kepiawaian Sutami.

Andai Sutami masih hidup, mungkin akan terperangah melihat kengototan Sekretariat Jenderal DPR dalam hal penggantian gorden.

Mahalnya harga gorden di setiap rumah anggota Dewan yang terhormat sudah mendekati dengan harga rumah sangat sederhana (RSS) di pinggiran Serang, Banten.

Penegakan korupsi tidak saja dengan sikap menolak uang sogokan atau barang haram, tetapi juga pada keberpihakan kepada aspek-aspek keadilan yang bersifat hakiki.

Katakan tidak pada(hal) korupsi hendaknya diterjemahkan kepada sikap dan “lelaku” keadilan yang bermartabat.

Katakan tidak pada korupsi tetapi mau menerima hanya sekedar gorden yang bisa dibeli dengan pendapatannya yang tidak sekelas Upah Minimum Regional (UMR) jelas sangat memprihatinkan, di tengah kehidupan rakyat kecil yang tercekik karena kenaikan harga-harga barang kebutuhan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Nasional
Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Nasional
Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Nasional
Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Nasional
Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Nasional
JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Nasional
Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Nasional
KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com