Satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian. Institusi-institusi keuangan seperti World Bank dan ADB yang terbiasa melakukan prediksi ekonomi setiap semester mengakui bahwa mereka belum dapat memastikan melihat cahaya di ujung terowongan (light at the end of the tunnel) akibat dampak Covid-19.
Ada banyak ekonom yang meyakini bahwa pemulihan ekonomi pasca-Covid akan menyerupai V shape, di mana setelah pasar menyentuh titik terendah, pasar akan kembali rebound secara signifikan.
Namun banyak pula yang menganggap bahwa pemulihan tidak akan berjalan sesegera itu karena warga dunia ke depannya akan lebih konservatif dalam melakukan pembelian dan pengeluarannya.
Dengan terpaksa dan berat hati, kita harus mengakui bahwa virus Covid-19 ini memang angsa hitam abad ini. Kita semua harus tahu dan dengan rendah hati menyadari bahwa masih terlalu banyak yang tidak kita ketahui.
Termasuk tentang kapan obat dan vaksin atas virus ini dapat ditemukan. Mungkin itulah sebabnya perwakilan WHO Michael Ryan selaku Direktur Eksekutif Program Kedaruratan pada 13 Mei 2020 mengumumkan bahwa “.. virus ini tidak akan pernah pergi”.
Sehingga sebelum ditemukan penawarnya, kita diminta untuk berdamai dan penting untuk dapat hidup berdampingan dengan virus ini, sekaligus mencegah penularannya.
Karena satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian, maka hanya mereka yang dapat bertahan menghadapi badai ketidakpastianlah yang akhirnya keluar sebagai pemenang.
Indonesia memiliki modal kuat untuk melewati krisis ini lebih cepat sebagaimana kita selalu berhasil mengejutkan dunia melewati krisis-krisis sebelumnya. Berbagai macam lembaga survey bersepakat bahwa Indonesia adalah negara yang punya spirit kedermawanan tinggi dengan masyarakat yang murah hati dan senang menolong.
Lembaga Charities Aid Foundation melakukan pemetaan dan memasukkan Indonesia dalam kategori ‘poor but generous’ bersama dengan Myanmar, Kenya, Iran, Nepal, dll.
Ini berbeda dengan kategori ‘poor but less generous’ seperti India, Brazil, Pakistan, Bangladesh, dll.
Negara kaya yang masuk kategori dermawan termasuk Irlandia, Kanada, Amerika, dan negara-negara Skandinavia. Sementara yang kaya namun lebih tidak dermawan beberapa di antaranya adalah Jepang, Perancis, Italia.
Sementara Legatum Prosperity Index 2019 sebagaimana diolah oleh Litbang Kompas menyatakan bahwa di antara 10 besar negara dengan 10 Modal Sosial tertinggi di Dunia menempatkan Indonesia di posisi ke-5.
Tingkat modal sosial negara diukur berdasarkan kepercayaan, rasa saling menghormati, dan menolong sesama masyarakat yang dilakukan secara kelompok maupun individu.
Berurutan dari peringkat pertama adalah Norwegia, Denmark, Eslandia, Finlandia, Indonesia, Belanda, Selandia Baru, Swiss, Swedia, Kanada.
Indonesia sebagai satu-satunya negara berkembang yang berada pada daftar tersebut menunjukkan bahwa faktor inilah yang kerap gagal diperhatikan oleh para ekonom ataupun ahli kebijakan makro ketika menilai resiliensi atau kemampuan bangkit Indonesia sebagai sebuah bangsa ketika menghadapi krisis.