JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo telah secara resmi mengumumkan lokasi yang rencananya menjadi ibu kota baru Indonesia.
Pemerintah memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur.
Jokowi menyatakan, beban di Jakarta dan pulau Jawa sudah terlalu berat. Dengan demikian, ia memutuskan ibu kota baru harus di luar pulau Jawa.
Baca juga: PP Properti Bakal Garap Lahan 500 Hektar di Sekitar Ibu Kota Baru
Dalam paparan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di acara Youth Talks pada 20 Agustus 2019, disampaikan sejumlah alasan mengapa pulau Jawa tak dipilih lagi sebagai lokasi ibu kota baru.
Setidaknya ada empat alasan yang mendasarinya, yaitu sebagai berikut:
1. Penduduk Jawa terlalu padat
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 menyebutkan, sebesar 56,56 persen masyarakat Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa.
Sementara di pulau lainnya, persentasenya kurang dari 10 persen, kecuali pulau Sumatera.
Baca juga: Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara di Mata Sutiyoso, Ahok, dan Djarot
Penduduk Sumatera sebesar 21,78 persen dari keseluruhan masyarakat Indonesia, atau sebanyak 56.932.400 jiwa.
Di Kalimantan, persentase penduduk Indonesia hanya 6,05 persen atau 15.801.800 jiwa.
Di Sulawesi, persentase penduduk Indonesia sebesar 7,33 persen atau 19.149.500 jiwa.
Di Bali dan Nusa Tenggara, penduduknya sebanyak 14.540.600 jiwa atau 5,56 persennya penduduk Indonesia.
Baca juga: Beberapa Poin Penting Pernyataan Jokowi soal Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur
Sementara di Maluku dan Papua memiliki persentase paling kecil, yakni 2,72 persen atau 7.103.500 jiwa.
2. Kontribusi ekonomi terhadap PDB
Alasan keduanya adalah kontribusi ekonomi pulau pulau terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia atau Produk Domestik Bruto (PDB), sangat mendominasi. Sementara pulau lainnya jauh tertinggal.
Jokowi ingin menghapuskan istilah "Jawasentris" sehingga kontribusi ekonomi di pulau lain juga harus digenjot.
Baca juga: Menteri Basuki: Ibu Kota Baru di Luar Bukit Soeharto
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, kontribusi ekonomi terhadap PDB di pulau Jawa sebesar 58,49 persen.
Sebanyak 20,85 persen di antaranya disumbang oleh Jabodetabek.
Sementara pertumbuhan ekonomi di pulau Jawa sebesar 5,61 persen.
Di Sumatera, kontribusi ekonominya sebesar 21,66 persen dengan pertumbuhan 4,3 persen.
Adapun di Kalimantan, kontribusi ekonominya sebesar 8,2 persen dengan pertumbuhan ekonomi 4,33 persen.
Baca juga: Regulasi Pemindahan Ibu Kota di DPR, Bakal Bentuk Pansus hingga Masuk Prolegnas
Di Sulawesi, kontribusinya hanya 6,11 persen. Namun, perrumbuhan ekonominya paling tinggi, yakni 6,99 persen.
Di Bali dan Nusa Tenggara, kontribusinya 3,11 persen dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,73 persen.
Di Maluku dan Papua, berkontribusi sebesar 2,43 persen dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,89 persen.
3. Krisis ketersediaan air
Ketersediaan air bersih menjadi salah satu concern pemerintah dalam menentukan lokasi ibu kota baru.
Baca juga: Beberapa Poin Penting Pernyataan Jokowi soal Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur
Pulau Jawa, berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2016, mengalami krisis air yang cukup parah.
Ada daerah yang termasuk indikator berwarna kuning yang artinya mengalami tekanan ketersediaan air, seperti di wilayah Jawa Tengah.
Di wilayah Jawa Timur, indikatornya berwarna oranye yang artinya ada kelangkaan air.
Sementara di wilayah Jabodetabek, indikatornya merah atau terjadi kelangkaan mutlak.
Baca juga: Kalimantan Timur Ibu Kota Baru, Luasnya Hampir 3 Kali DKI, Alasan Pindah hingga Pembiayaan
Hanya sebagian kecil di pulau Jawa yang memiliki indikator hijau atau ketersediaan airnya masih sehat, yakni di wilayah Gunung Salak hingga Ujung Kulon.
4. Konversi lahan di Jawa mendominasi
Hasil modelling KLHS Bappenas 2019 menunjukkan, konversi lahan terbesar terjadi di pulau Jawa.
Proporsi konsumsi lahan terbangun di pulau Jawa mendominasi, bahkan mencapai lima kali lipat dari Kalimantan.
Pada 2000, proporsi lahan terbangun di Jawa sebesar 48,41 persen. Kemudian berkurang menjadi 46,49 persen pada 2010.
Baca juga: Soal Ibu Kota Baru, Pemerintah Diminta Antisipasi Arus Urbanisasi
Diprediksi, lahan terbangun di Jawa pada 2020 dan 2030 sebesar 44,64 dan 42,79 persen menyusul rencana pemindahan ibu kota.
Di Kalimantan, keterbangunan lahannya sebesar 9,29 persen pada 2010. Proporsi lahan terbangun di Kalimantan diprediksi meningkat pada 2020 menjadi 10,18 persen dan 11,08 persen pada 2030.
Sementara di Sumatera, proporsi lahan terbangunnya sebesar 32,54 persen pada 2010. Diprediksi, pembangunannya terus meningkat pada 2020 sebesar 32,71 persen dan pada 2030 sebesar 32,87 persen.
Adapun di Sulawesi, proporsi lahan terbangunnya sebesar 4,88 persen pada 2010. Kemudian, diprediksi terus bertumbuh menjadi 5,42 persen pada 2020 dan 5,96 persen pada 2030.