BELAKANGAN media sosial diramaikan oleh informasi adanya warga negara China yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 2019.
Nomor Identitas Kependudukan (NIK) dalam kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) atas warga negara asing yang tinggal di Cianjur, Jawa Barat, ditemukan saat dicek di daftar pemilih tetap (DPT) 2019.
Bahkan bukan cuma itu, ternyata ada seratusan NIK WNA yang masuk ke dalam DPT Pemilu 2019.
Benarkah KTP warga asing bisa memilih dalam pemilu kali ini? Program AIMAN di KompasTV menyingkap tabir permasalahan ini.
Setidaknya ada dua informasi yang baru dari peristiwa tersebut. Pertama, keterkejutan warga bahwa orang asing ternyata bisa memiliki KTP elektronik.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri yang saya wawancara dalam program AIMAN mengatakan bahwa ada dasar hukum warga asing bisa memiliki e-KTP, meski dengan syarat ketat.
Dasar hukum ini diatur dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) atau Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Dalam undang-undang ini, warga asing wajib memiliki KTP.
Pasal 63 ayat (1) pada UU tersebut berbunyi, "Penduduk warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-elektronik."
Masalah kedua adalah, mengapa data DPT memuat NIK dalam e-KTP milik WNA ini? Muncul pertanyaan, apakah yang bersangkutan memiliki hak pilih sehingga dapat ikut mencoblos?
Terkait NIK WNA dalam DPT itu, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Cianjur mengakui ada kesalahan input data NIK.
Data yang seharusnya atas nama warga negara Indonesia, antara lain warga Cianjur bernama Bahar, tetapi NIK yang terdaftar dalam DPT justru milik WNA ber-KTP Cianjur.
"Secara bukti langsung di lapangan, nama Bahar ini memang ada. Alamat juga betul sesuai tercantum dalam data pemilih. Namun, kesalahannya yang diinput (dalam DPT) itu data milik WNA asal China berinisial GC," kata Komisioner KPU Kabupaten Cianjur Anggy Sophia Wardani di Kantor KPU Cianjur, Selasa (26/2/2019).
Saya mencoba mengecek DPT yang disediakan KPU RI di laman situs web KPU. Tim AIMAN juga mencari data detail KTP elektronik milik kedua nama yang disebut KPU Cianjur, yakni WNA bernama Guohui Chen dan WNI bernama Bahar.
Dalam pengecekan pertama, saya memasukkan NIK milik Guohui Chen dan namanya. Hasilnya, DPT tidak tembus alias tidak terdaftar.
Selanjutnya, saya memasukkan NIK Bahar. Saya mulai memasukkan NIK dan namanya. Hasilnya tak tembus juga.
Kemudian saya mengombinasikan keduanya, yakni memasukkan NIK milik Guohui Chen, tetapi atas nama Bahar. Apa yang saya dapatkan?
Ternyata data itu ada sehingga warga bernama Bahar tersebut memiliki hak pilih. Namun, muncul kejanggalan karena NIK yang masuk adalah NIK milik Chen, dengan nama Bahar.
Apa yang terjadi? Hal itulah yang dimaksud sebagai kesalahan input oleh KPU Cianjur.
Jika dicermati, ada 4 digit berbeda pada NIK Chen dan Bahar. Mengapa 4 digit ini bisa persis saat salah input?
Saya tanyakan hal ini kepada Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan. Ia menyatakan, KPU terus mengkaji mengapa masalah ini bisa terjadi dan belum mendapat kesimpulan akhir akan jawabannya.
"Masih kami investigasi soal ini. Yang jelas, (KTP) WNA tidak akan bisa melakukan pencoblosan saat pemilu nanti. Petugas TPS pun paham bahwa ada perbedaan data antara KTP WNI dan KTP WNA," ujarnya kepada program AIMAN, Jumat (1/3/2019) lalu.
Saya mengonfirmasi kepada Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh dan ternyata ada 103 KTP WNA yang terdaftar dalam DPT Pemilu 2019.
"Namun, ini pekerjaan yang sebentar. Kami akan bekerja sama dengan KPU untuk membersihkannya agar tidak masuk ke dalam DPT dari kemungkinan bisa disalahgunakan," kata Zudan kepada AIMAN.
Pengingat
Apa pun yang terjadi, kasus ini menjadi pengingat bagi penyelenggara pemilu agar lebih detail melakukan pemeriksaan pemilih, baik pada tingkat persiapan maupun saat pelaksanaan pencoblosan nanti.
Ada sisi positif ketika isu ini diangkat, yang akan membawa kesadaran para petugas panitia pemungutan suara (PPS) untuk lebih detail memeriksa identitas pemilih tambahan bila tak memiliki formulir undangan memilih.
Bagi Kementerian Dalam Negeri, ini merupakan sebuah pelajaran berharga agar usulan untuk membedakan antara KTP WNI dan WNA penting adanya. Bukan menjadi blanko yang sepintas tampak sama.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.