JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi I DPR Meutya Hafid mengakui bahwa Undang-Undang ITE kerap digunakan oleh orang yang punya kuasa lebih kepada orang yang kekuasaanya lebih rendah. Salah satunya terjadi dalam kasus Baiq Nuril dengan mantan Kepala SMU 7 Mataram yang merupakan atasan Nuril.
"Memang sayangnya banyak digunakan untuk orang powerfull kepada orang powerless," ujar Meutya di kompleks parlemen, Kamis (22/11/2018).
Meutya mengatakan seharusnya ada sosialisasi lebih lanjut terkait penerapan Undang-Undang ini. Bukan hanya kepada masyarakat, melainkan juga pada penegak hukum yang menjalankan UU ITE ini.
Meski demikian, dia menilai UU ITE harus tetap ada. Meutya mengatakan UU ITE juga banyak digunakan dalam kasus-kasus yang memang seharusnya. Misalnya seperti ucapan SARA dan pencemaran nama baik yang gencar di media sosial.
Baca juga: Anggota Komisi I: Kasus Baiq Nuril, Masalahnya Bukan di UU ITE...
"Artinya tidak cuma orang lemah, tapi ada orang-orang di sosmed yang tidak lemah tapi memang sering menjelekan orang lain, ada terkait dengan SARA juga. Itu yang sebenarnya kita sasar (dengan UU ITE)," ujar Meutya.
Menurut Meutya, UU ITE kini juga sudah lebih baik setelah direvisi beberapa tahun lalu. Kini ancaman pidananya diturunkan dari 6 tahun menjadi 4 tahun.
"Sehingga tidak bisa orang langsung diambil paksa dari rumahnya tanpa pembuktian sama sekali," kata Meutya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.