Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dimas Oky Nugroho

Pengamat politik ARSC. Founder Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP)

Menghadirkan Kekuatan Rakyat

Kompas.com - 28/09/2017, 15:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho

Masyarakat nusantara memiliki keterkaitan historis dengan tradisi populisme. Sebagai masyarakat berkultur maritim sekaligus agraris ditambah latar belakang budaya dan spiritualitas Timur yang kokoh, semangat dan praktik kolektivisme lazim kita temukan di mana pun.

Namun populisme sebagai sebuah kekuatan rakyat, secara politis, memiliki cap prasangka yang traumatik di republik ini.

Makna politis gerakan populisme rentan diasosiasikan pada gerakan atau entitas sosial rakyat yang menggunakan mobilisasi perlawanan kelas dan simbol ideologis ataupun politik identitas sebagai landasan kritik ekonomi-politik kelompok marjinal terhadap rejim dominan.

Populisme, oleh rejim dominan, kerap pula dituduh hanya bertujuan mengantarkan kepemimpinan populer mencapai puncak kekuasaan melalui cara-cara penggalangan massa rakyat namun selanjutnya kesulitan menghadirkan kebijakan yang realistis dan relevan.

Adalah benar, legitimasi dan dukungan rakyat menjadi sesuatu yang maha penting untuk diperoleh, dimobilisasi, tak jarang diklaim oleh setiap rejim, institusi atau aktor politik manapun di negara bersistem apapun.

Namun harus diingat, hanya dengan visi idealisme dan visi demokrasi yang sehat, partisipasi rakyat yang genuine dan produktif, keberlanjutan sebuah negara-bangsa dapat terjamin.

Dalam konteks pembangunan yang luas, pergerakan dan upaya mendapatkan dukungan otentik rakyat ke arah pencapaian tujuan-tujuan kepentingan nasional adalah sebuah kewajiban dan keahlian yang harus dimiliki setiap pemerintah.

Dalam konteks kebangsaan kita hari ini, segenap kepemimpinan harus dapat menggalang kekuatan rakyat secara demokratis, namun solid dan kokoh, sekaligus rekonsiliatif untuk mencapai tujuan-tujuan nasional kita tersebut.

Kebutuhan kita hari ini adalah keluar dari ancaman pertengkaran sesama rakyat serta pertengkaran sesama elite politik.

Tantangan bangsa ini yang lebih substansial adalah menurunkan tingkat kesenjangan dalam berbagai aspek.

Kemiskinan dan kepemimpinanmKOMPAS Kemiskinan dan kepemimpinanm
Agar dapat lebih maju, sebagai negara peringkat ekonomi tengah, Indonesia harus dapat terhindar dari apa yang disebut pengamat ekonomi sebagai middle income trap.

Hal itu dilakukan antara lain dengan kerja keras mengoptimalkan bonus demografi – menggalang kelompok usia produktif rakyat yakni anak muda yang berjumlah besar – untuk mewujudkan percepatan dan pemerataan kesejahteraan seluruh rakyat.

Guna menghadapi tantangan tersebut, pertama, kemauan (fokus dan optimisme) serta kemampuan (kapasitas dan karakter) rakyat harus diperkuat. Bangun momentum nasional bahwa bangsa ini harus segera ‘naik kelas’.

Presiden Jokowi sudah mencanangkan sebuah formula 'Revolusi Mental'. Karena perubahan dan perbaikan nasib rakyat hanya dapat didorong melalui jalan kesadaran dan perjuangan bersama yang termanifestasi pada sebuah kekuatan rakyat yang bersatu, berikhtiar dan bergotong-royong.

Kedua, fokuslah setiap lapis pemerintahan pada solusi dan pembenahan problem-problem riil rakyat yang membuat kita sebagai bangsa selama ini dianggap tidak kompetitif.

Tata pemerintahan, akuntabilitas, kebijakan sosial ekonomi, infrastruktur, dan layanan publik; persoalan sumber daya manusia; serta aspek integritas dan penegakan hukum harus dibenahi secara serius dan transformatif jika mau memenuhi prasyarat menjadi bangsa maju.

Globalisasi adalah kontestasi sekaligus kolaborasi. Jangan lupa, nasionalisme kita berasal dan tumbuh mekar serta ikut memperindah taman sarinya internasional.

Kita harus menjadi bangsa yang mampu 'menjinakkan' apa yang disebut Manfred Steger sebagai globalism, dan mempertemukannya secara dinamis dengan potensi dan tradisi otentik kita sendiri. Sejalan dengan kepentingan nasional kita sendiri.

Agar tak merugi ‘dimakan’ globalisme tersebut, kita membutuhkan kekuatan politik domestik yang kolaboratif, berkarakter dan cerdas yang dapat menjadi fondasi kokoh untuk mampu 'bernegosiasi' dengan kehendak ekonomi-politik luar yang berbagai rupa dan kerapkali tamak.

Karena itu, penguatan basis-basis ekonomi-politik kerakyatan dan pilar-pilar tradisi yang fundamental harus dipersiapkan dan dibangkitkan.

Bukan melalui jalan politik yang manipulatif dan konfliktual yang kerap ditemukan dalam berbagai gerakan populisme yang tersesat. Namun melalui jalan kebudayaan yang melahirkan kesadaran budi pekerti, toleransi dan solidaritas; jalan pendidikan yang melahirkan partisipasi, empati dan kreativitas; serta jalan sosial ekonomi yang melahirkan kemandirian, kemajuan, dan gotong royong.

Menghadapi konstalasi politik dunia yang tampak saat ini tengah bergerak rentan, setiap rejim pemerintah di banyak negara-bangsa yang waras bergegas melakukan langkah antisipasi untuk melindungi rakyatnya dan kepentingan nasionalnya masing-masing.

Di sini harus diingat, negara-bangsa tanpa kesetiaan pada tradisi dan visi idealisme-nya sendiri, pada inovasi sosial ekonomi-nya sendiri, serta gagal pula dalam membangun kekuatan dan kedisiplinan sosial politik rakyat, elite dan pemerintahnya sendiri, adalah sebuah negara-bangsa yang tinggal menunggu waktu kebangkrutannya.

Tren politik dunia hari ini sekonyong-konyong menempatkan pertemuan berbagai partikularisme sosial politik yang berbeda pada rakyat dalam sebuah skenario kontradiksi yang konfliktual.

Sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai, tradisi historis, kehormatan serta cita-cita nasionalnya sendiri, sejatinya harus dapat memilih trajektori ekonomi-politiknya yang berbeda dari 'gendang' tren politik dunia tersebut.

Sebagaimana nasihat Kanjeng Sunan Kalijaga di suatu masa: sura dira jaya jayaningrat, lebur dening pangastuti. Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.

Sebagai negara-bangsa, kita harus mampu menghadapi tiap turbulensi politik dengan sebuah setting konsolidasi internal, ketabahan, akal sehat dan pengelolaan tertib politik yang tepat, berkemanusiaan dan berkemajuan.

Dalam hal ini, segenap elite kepemimpinan politik harus sadar, untuk no drama no karma, hentikan intrik politik yang memecah dan membuat susah.

Negara harus dapat berfungsi efektif dan amanah. Rakyat tidak ditinggalkan, dikorup, apalagi dikorbankan, melainkan digerakkan, digembirakan dan diangkat harkat martabatnya.

Begitulah Indonesia Raya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar Tapi dari Bawah

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar Tapi dari Bawah

Nasional
Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Nasional
Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Nasional
BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

Nasional
Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Nasional
Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Nasional
PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

Nasional
Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Nasional
Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com