Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Keseriusan Pemerintah Hilangkan Perkawinan Anak

Kompas.com - 24/07/2017, 06:28 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Keseriusan pemerintah dalam menuntaskan persoalan perkawinan anak dipertanyakan. Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sebanyak 989.814 anak perempuan menjadi korban praktek perkawinan anak pada 2012.

Pada 2013, sebanyak 954.518. Sedangkan pada 2014 sebanyaj 722.518. Pada 2015, BPS menyatakan bahwa satu dari lima perempuan pernah kawin usia 20 hingga 24 tahun melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. Jumlah yang tak tercatat bisa jauh lebih daripada itu.

"Tidak bisa dideteksi. Tapi kami memperkirakan bisa tiga kali lebih besar dari yang tercatat," ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Dian Kartikasari di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (23/7/2017).

Jawa Timur menjadi daerah dengan jumlah perkawinan anak tertinggi se-Indonesia. Dian menyampaikan, jumlahbya bisa sampai 35 persen dari jumlah perkawinan. Apalagi di Madura, tak hanya terjadi perkawinan anak namun juga poligami.

"Anak-anak dikawinkan oleh satu orang laki-laki dan beberapa anak perempuan," tuturnya.

(Baca: Nenek 80 Tahun Siap Nikahi Remaja yang Dicabulinya Delapan Kali)

Daerah tertinggi lainnya adalah Jawa Barat, terutama di daerah pedesaan. Selain Jabar, daerah lainnya adalah Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, dan Sulawesi Barat.

Berbagai macam motif melatari maraknya perkawinan anak. Misalnya untuk orang tua membayar utang. Di samping persoalan kemiskinan juga ada persoalan kultur.

"Malu misalnya anaknya belum kawin tapi anak-anak tetangga sudah kawin. Juga ada soal sosial lebih ke aib, takut kalau anaknya tidak segera dikawinkan ada free-sex," kata Dian.

Uji materi ke MK

Sejumlah upaya telah dilakukan oleh masyarakat sipil untuk mengatasi persoalan perkawinan anak tersebut. Salah satunya melalui jalur hukum dengan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.

Pada 2014, permohonan uji materi dilayangkan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1). Gugatan diajukan untuk menaikan usia minimal perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Gugatan tersebut dimentahkan.

MK menilai pasal tersebut tak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sebab ketentuan usia minimal perkawinan diserahkan kepada pembuat undang-undang (open legal policy).

(Baca: Kemenag: Pernikahan Remaja 16 Tahun dan Nenek 71 Tahun di OKU Ilegal)

Gugatan kembali dilayangkan pada 2017, untuk menaikan usia minimal perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Hal ini dilakukan sebab tak terlihat ada itikad dari pemerintah untuk menindaklanjuti putusan MK sebelumnya.

"Putusan MK 2014 mengatakan pemerintah harus mengubah undang-undang itu tapi dorongan upaya perubahan tidak dilakukan. Karena itu kami menguji lagi pasal 7 ayat (1) itu," ujar Kuasa Hukum Koalisi 18+, Supriyadi Widodo Eddyono.

Saat ini sidang sudah masuk kepada perbaikan permohonan Ia berharap, gugatan dapat dikabulkan oleh MK.

"Kami masih menunggu undangan pleno sembilan hakim MK," tuturnya.

Pemohon adalah korban

Supriyadi menjelaskan tiga pemohon dalam gugatan tersebut. Ketiganya merupakan korban dari perkawinan anak. Misalnya Pemohon I yang dikawinkan pada usia kelas 2 SMP dengan duda beranak satu berusia 37 tahun.

Kemudian Pemohon kedua dinikahkan pada usia 14 tahun dengan laki-laki usia 33 tahun. Pernikahan tersebut atas dasar kondisi ekonomi yang sulit dan sang ayah menikahkan anaknya karena dililit utang.

Adapun pemohon ketiga adalah yang termuda, dinikahkan pada usia 13 tahun dengan laki-laki usia 25 tahun.

"Pola yang dialami oleh tiga pemohon, siapa yang mengawinkan? Rata-rata bukan keinginan mereka karena bapaknya yang mengatur agar anaknya dikawinkan," kata Supriyadi.

Perkawinan tersebut terjadi di tengah situasi ekonomi yang sulit. Setelah perkawinan, situasi ekonomi menjadi semakin sulit.

Tak ada keseriusan pemerintah

Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin K Susilo menyampaikan, keseriusan pemerintah tak terlihat dalam memandang perkawinan anak sebagai persoalan serius. Misalnya dalam proses uji materi di MK. Perwakilan pemerintah tak secara serius menghadapi persidangan tersebut.

"Yang datang dari Kemenkumham, Kemenag dan DPR. DPR dari awal sampai akhir tidak pernah datang, Kemenag kira-kira yang datang pejabat eselon, tidak pernah sekalipun bicara," kata Zumrotin.

"Sedikit yang bicara dari Kumham," sambungnya.

Empat kementerian lembaga diminta hadir dalam sidang namun ditolak, yakni Kementerian Kesehatan, BKKBN, Kemen terian Pemberdayaan Perempuan dan Pemlindungan Anak, serta Kementerian Pendidikan. Alasannya karena mereka bagian dari pemerintah.

Namun, jika ada pernyataan tertulis dari kementerian lembaga tersebut soal ketidaksetujuan tentang perkawinan anak, hal itu diperbolehkan.

Jelang putusan, Zamrotin pun bergerilya ke empat kementerian lembaga tersebut. Namun respons yang didapat tak memuaskan. Misalnya dari Kemenkes yang justru menawarkan penambahan program pencegahan perkawinan anak jika gugatan ditolak MK. Zumrotin kecewa.

"Saya melihat ada keengganan. Kalau kami lihat Kemenag luar biasa pandangannya tentang pernikahan anak. Kalau ketemu luar biasa, bicara luar biasa. Tapi actionnya mana? Enggak ada," kata dia.

Perppu pencegaham dan penghapusan perkawinan anak

Pada 2016, masyarakat sipil juga sudah mengajukan rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak. Diskusi telah dilakukan bersama dengan Presiden Joko Widodo melalui Kantor Staf Presiden.

Di samping itu juga diskusi dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada Desember 2016. Respons positif ditunjukkan. Presiden sepakat bahwa isu perkawinan anak merupakan persoalan serius. Namun, perppu tersebut masih terkatung-katung hingga saat ini.

"Sampai sekarang prosesnya kami tidak tahu perppu itu sudah sampai mana," kata Dian Kartikasari.

Perkembangan terakhir, isu tersebut didiskusikan oleh Kementerian PPPA dan Kementerian Agama sekitar satu bulan yang lalu. Di samping membahas perppu, direncanakan pula aksi nasional tentang penghapusan dan pencegahan perkawinan anak.

"Jadi kami simultan dari mulai aksinya sampai kebijakannya," kata Dian. R

espons Menteri PPPA, Yohana Yembise menunjukkan keseriusan. Dalam waktu dekat draf perppu akan disusun dan juga akan digelar beberapa pertemuan.

"Tinggal yang harus didorong soal action-nya, sampai pada programatik dan policy (kebijakan) untuk mengawasi itu," tuturnya.

Kompas TV Kongres Ulama Perempuan Indonesia digelar di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy Babakan, Ciwaringin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com