JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator peneliti Imparsial Ardi Manto menilai pasal pelibatan TNI dalam revisi Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) memiliki risiko minimnya pengawasan upaya pemberantasan terorisme.
Ardi menuturkan, jika ketentuan pelibatan TNI diatur dalam RUU Anti-terorisme, dikhawatirkan pengerahan kekuatan militer untuk operasi militer selain perang tidak lagi membutuhkan keputusan politik dari presiden.
(Baca: Kata Wiranto soal Pelibatan TNI dalam RUU Terorisme)
"Jika pelibatan TNI diatur dalam RUU antiterorisme maka operasi militer terkait pemberantasan terorisme tidak perlu lagi keputusan politik presiden. Justru akan berisiko," ujar Ardi saat ditemui di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2017).
Ardi menjelaskan, idealnya pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang membutuhkan mekanisme pengawasan yang ketat dan akuntabel.
Oleh sebab itu dalam mengatasi terorisme, pelibatan TNI harus berdasarkan atas dasar keputusan politik presiden, misalnya melalui penerbitan keputusan presiden (Keppres) atau peraturan presiden (Perpres), sebagaimana diatur dalan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
Keputusan politik presiden tersebut, lanjut Ardi, juga mensyaratkan adanya persetujuan dari DPR.
Dengan begitu pengerahan kekuatan militer bisa dipertanggungjawabkan. Menurut Ardi, jika Presiden ingin melibatkan TNI dalam penanganan terorisme, maka pemerintah cukup membuat peraturan pelaksana (PP) dari UU TNI.
Dalam PP tersebut pemerintah bisa mengatur mekanisme pelibatan TNI secara detail, seperti jangka waktu dan batas wilayah operasi perbantuan TNI.
"Memang kelemahannya saat ini tidak ada PP dari UU TNI. Itu perlu dibuat agar mekanisme pelibatan TNI bisa lebih detil, sebab mekanisme pelibatan TNI harus jelas mengenai batas wilayah dan jangka waktunya," jelas Ardi.
Sementara itu Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, keinginan presiden untuk melibatkan TNI dalam mengatasi terorisme sebenarnya sudah bisa dilakukan tanpa harus mengaturnya kembali dalam UU antiterorisme.
Aturan tersebut secara jelas tercantum dalam Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
"Pelibatan TNI (dalam operasi militer selain perang) sudah cukup jelas diatur dalam UU TNI, mengingat TNI merupakan alat pertahanan negara, bukan penegak hukum," ujar Al Araf.
Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI menyebutkan, TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang, misalnya untuk mengatasi terorisme, dengan didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara.
(Baca: Wakil Ketua Komnas HAM Kritik Rencana Pelibatan TNI Berantas Terorisme)
Dengan demikian, lanjut Araf, Presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan TNI.
Menurut Araf, pelibatan militer merupakan last resort (pilihan terakhir) yang dapat digunakan Presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme.
"Cukup gunakan UU TNI dalam melibatkan TNI. Aturannya jelas kenapa harus diatur lagi. Dalam praktiknya selama inipun militer juga sudah terlibat dalam mengatasi terorisme sebagaimana terjadi dalam operasi perbantuan di Poso," kata dia.