JAKARTA, KOMPAS.com - Kekhawatiran terhadap rendahnya daya baca anak-anak membuat Sisi Wahyu merasa gundah.
Bagi dia, yang menjadi persoalan saat ini tidak hanya rendahnya minat baca anak, tetapi juga rendahnya daya anak untuk mengakses buku.
Sementara anak-anak semakin sering bersentuhan dengan dunia digital tanpa ada pengawasan yang ketat dari orang tua.
Kegemaran anak-anak bermain di warung internet (warnet) selama berjam-jam ketimbang membaca buku menjadi salah satu alasan yang mendorong Ibu dari empat orang anak itu mendirikan komunitas Warung Baca Mata Air.
"Kalau bisa Pak Jokowi blusukan ke warnet-warnet, supaya tahu kalau anak-anak lebih suka menghabiskan waktu bermain di warnet ketimbang baca buku," ujar Sisi saat ditemui Kompas.com, Minggu (21/5/2017).
(Baca: "Modus" si Pegiat Literasi)
Berangkat dari persoalan tersebut, tercetus ide untuk membuat komunitas yang memberikan wadah bagi anak-anak tumbuh dan belajar bersama.
Pada 27 Oktober 2008, Sisi mulai menjadikan rumahnya di kompleks Setneg RI, Kelurahan Pondok Kacang Barat, Kota Tangerang, Banten, sebagai tempat anak-anak belajar.
Dengan dibantu beberapa relawan, Sisi mulai mengajar anak-anak di sekitar lingkungan rumahnya secara gratis.
Mereka mengadakan berbagai kegiatan setiap minggunya, mulai dari membaca, menulis dan lain sebagainya.
Selama sembilan tahun Sisi tekun menjalankan inisiatif sosialnya itu dan relawan bertambah jumlahnya, meski datang silih berganti.
Umumnya mereka adalah mahasiswa dan pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Ada empat kegiatan utama komunitas tersebut yakni ruang baca atau perpustakaan, warung baca keliling "Modus" atau Motor Kardus, kelas entrepreneur dan ruang belajar IT.
"Saya terus berupaya membangun tempat pembelajaran di area penduduk. Mendekati anak pada buku dengan berbagai daya yang kami bisa," tutur Sisi.