JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia diharapkan mengadopsi instrumen Statuta Roma yang menjadi salah satu rekomendasi pasca-Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, 3-5 Mei 2017 lalu.
Wakil Koordinator untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri mengatakan, dengan mengadopsi Statuta Roma, maka Indonesia akan terikat pada agenda akuntabilitas keadilan global.
"Jika pemerintah meratifikasi Statuta Roma, maka harus ada komitmen untuk memperbaiki kualitas access to justice dari ranah penegakan hukum, penuntutan, peradilan, hingga mereformasi peradilan militer yang tidak tersentuh oleh konsep akuntabilitas hukum pidana internasional," ujar Puri, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (19/5/2017).
Puri menyebutkan, tujuan dari pembentukan Statuta Roma adalah untuk menjamin hadirnya aspek keadilan bagi korban.
Sistem pengadilan pidana internasional (International Criminal Court) yang diatur dalam Statuta Roma, mensyaratkan agar sistem hukum pidana di tingkat nasional dapat bekerja efektif dalam menghadirkan keadilan melalui jalur yudisial.
Baca: PBB Akui Kemajuan Perlindungan HAM di Indonesia
Sifat dari mendorong berfungsi dan efektifnya mekanisme hukum nasional adalah untuk mengikat komitmen negara terhadap penegakan hukum.
"Maka ICC akan memainkan peran sebagai 'the last resort' - harapan terakhir korban untuk mencari keadilan di tingkat internasional," kata Puri.
"Mengadopsi Statuta Roma akan menjamin kualitas penegakan hukum," tambah dia.
Selain itu, pada aspek Statuta Roma, beban pertanggungjawaban berada di level individual yang melakukan pokok-pokok kejahatan internasional.
Statuta Roma juga tidak akan digunakan untuk memproses kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2002 atau sebelum ICC dibentuk.
"Yang kerap menjadi kecemasan negara juga badan keamanan adalah sifat dari 'penghukuman individual' bisa menyasar pada kasus-kasus yang lampau," kata Puri.
Sebelumnya, Wakil Tetap Republik Indonesia pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Hasan Kleib mengatakan, sebanyak 101 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memberikan 225 rekomendasi terkait promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) kepada Indonesia saat UPR Dewan PBB.
Namun, tidak semua rekomendasi tersebut diterima atau diadopsi secara langsung oleh pemerintah.
Pemerintah menyatakan menerima secara langsung sebanyak 150 rekomendasi dan mempertimbangkan 75 rekomendasi.
Rekomendasi untuk meratifikasi ketentuan ICC dalam Statuta Roma termasuk salah satu rekomendasi yang masih dipertimbangkan.
Sementara itu, Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menjelaskan, pemerintah sudah meratifikasi sebagian ketentuan dalam ICC.
Meski demikian dia mengakui, tidak mungkin untuk meratifikasi seluruh ketentuan yang ada dalam ICC.