Para eks tapol dan keluarganya tinggal di rumah-rumah itu berdampingan dengan para transmigran dari Jawa yang datang pada 1980.
Sebagian besar tapol yang dibebaskan pada 1977-1979 telah kembali ke Jawa. Namun, ada sekitar 298 eks tapol yang memilih bertahan di Buru dan statusnya lalu diubah menjadi transmigran.
Dari jumlah itu, pada 1979, 209 orang menetap bersama keluarganya di Savanajaya dan sisanya bujangan. Sebagian dari yang belum menikah itu lalu menikah dengan warga lokal, anak sesama tapol, atau transmigran.
Diro Utomo, eks tapol yang kini usianya sekitar 80 tahun, menuturkan, ia tidak punya alasan kembali ke kampung halaman di Boyolali, Jawa Tengah, karena istrinya meninggal.
"Saya akhirnya menikah dengan orang sini dan memutuskan hidup di sini karena saya sudah tidak punya apa-apa di Jawa," katanya.
Diro tiba di Buru tahun 1971. Sebelumnya, selama 5 tahun ia berpindah-pindah penjara dan terakhir ditahan di Nusakambangan sebelum diangkut ke Buru menggunakan Kapal Tokala.
(Baca: Belajar dari Perjuangan Pramoedya Ananta Toer)
Saat itu, ia meninggalkan istri yang sedang mengandung dan seorang anak yang masih kecil. Setelah beberapa lama dalam tahanan, ia baru mengetahui anaknya yang baru lahir akhirnya meninggal. Sementara seorang anaknya yang saat itu masih kecil dirawat ibu Diro.
Djamal Marsudi dalam buku Laporan Pertama dari Pulau Buru menyebutkan, mereka yang dibuang ke Buru adalah orang-orang golongan B, yakni orang yang diduga terlibat atau menjadi anggota PKI dan organisasi di bawah naungannya, tetapi secara yuridis keterlibatan mereka tak bisa dibuktikan.
Di Buru, para tapol ini dipekerjakan di bidang pertanian untuk menghasilkan bahan pangan yang dijual ke pasar, di samping untuk dikonsumsi sendiri.
Pemulangan
Tahun 1974-1977, ada dinamika politik internasional. Presiden Amerika Serikat Richard Nixon mengadakan lawatan ke Moskwa pada 1974. Setelah itu, Presiden AS Jimmy Carter (1977-1981) menormalisasi hubungan AS dengan China.
Seiring dengan dinamika politik internasional tersebut, bantuan juga mengalir dari AS ke Indonesia. Kongres AS pada akhir 1975 menyetujui bantuan militer kepada Indonesia sebesar 19 juta dollar AS.
Bantuan militer AS untuk Indonesia tahun 1970-1975 semuanya berjumlah 65,8 juta dollar AS yang direalisasikan dalam bentuk perlengkapan dan senjata kapal perang, pesawat terbang, senjata ringan-berat untuk infanteri, serta perlengkapan radio komunikasi (Kompas, 9/1/1976).
Namun, Indonesia mesti menerapkan Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi Manusia.
Terkait syarat tersebut, penyelesaian tapol di Pulau Buru mulai dilakukan pemerintah. Eks tapol secara bergelombang mulai dibebaskan dari Buru pada 1977-1979.