KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menggaungkan soal mendesaknya "national branding". Kerja keras, produktivitas, dan inovasi, harus jadi patokan. Lalu, apa strateginya?
"Tujuannya agar Indonesia bisa menjadi bangsa yang terdepan dalam kemajuan dan menjadi bangsa pemenang,” kata Presiden, seperti dikutip dari situs web presidenri.go.id.
Menurut Presiden, langkah pertama untuk mewujudkan tujuan itu adalah membangun kepercayaan dari bangsa lain.
"Harus dimulai dari dalam masyarakat dengan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa," ungkap Presiden.
Berangkat dari pemikiran itu pula, Kementerian Pariwisata kemudian gencar melakukan rangkaian promosi di banyak negara. Branding yang diusung kementerian ini adalah tagline "Wonderful Indonesia."
Bersamaan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian Perdagangan tampil mengusung "Remarkable Indonesia".
Demi "Merah Putih"
Dalam beragam variasi ini, kesemua institusi tersebut sama-sama bekerja untuk "Merah Putih".
Logo, tulisan dan warna dasar brand yang dipakai memang beda, bahkan sama sekali tidak nyambung, dengan pesan dan filosofinya yang berbeda pula.
Lalu, mengapa tidak disatukan? Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, satu bendera, satu branding?
"Saya paham, bukan hanya Pak Presiden Jokowi yang galau, banyak pemimpin dunia yang galau memikirkan national brand seperti ini," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya, pekan lalu.
Arief pun lalu memaparkan indikator yang dapat menjadi tolok ukur untuk menjawab kegalauan itu. Menurut dia, kalau ingin menjadi pemain global, gunakan juga global standart.
"Mau tetap atau berubah, mau satu atau lebih dari satu, ada contoh suksesnya. Lakukan apa yang sudah sukses dan mereka (global) sudah lakukan, jangan memulai dari awal. Tapi berawal dari akhir," papar Arief.
Tentu saja, Arief tak sekadar omong kosong. Dia memang punya bekal bicara branding, baik dari latar belakang pendidikan maupun perjalanan karier.
Memiliki gelar doktor untuk strategic management, Arief pernah membuktikan strateginya telah mendongkrak brand pariwisata Wonderful Indonesia, yaitu dari tak masuk peringkat menjadi posisi 47 dunia.
Peringkat baru itu juga langsung meninggalkan jargon promosi pariwisata Malaysia yang ada di peringkat 96. Bahkan, Thailand saja menclok di posisi 83.
Pengalaman itu jadi salah satu dasar Presiden menunjuk Arief menjadi ketua tim National Branding. Apa selanjutnya?
Rahasia dua branding
Di depan jajaran petinggi BUMN, Arief memaparkan strategi di balik pemunculan dua branding untuk mengusung nama Indonesia.
Merujuk sejumlah data dan riset, Arief antara lain menyebutkan, pemunculan bendera negara dalam setiap upaya kampanye potensi Indonesia bukan asal tempel. Sebelumnya, dia mengungkap sejumlah contoh sukses national brand di tataran global.
Menurut Arief, Australia dan India juga menuju penerapan konsep monolithic ini. Sebelumnya, negara-negara itu menggunakan branding yang berbeda-beda, tergantung tujuan kampanyenya.
Meski begitu, lanjut Arief, ada lebih banyak contoh sukses dari strategi memakai dua branding. Sederet negara bisa disebut, mulai dari Amerika Serikat, Singapura, Kanada, China, Jerman, Brasil, Selandia Baru, sampai Perancis, sebagai pengguna konsep ini.
Sama-sama pakai dua branding, corak, dan konsep dari Finlandia disebut Arief sebagai yang terbaik. Meski terlihat berbeda warna dan coretan, branding yang dipakai bisa dibilang mirip.
Negara lain yang memakai konsep seperti Finlandia adalah Meksiko. Menurut Arief, inilah yang dinamakan Brand Family, yang kemudian juga diadopsi untuk Indonesia.
"Brand family ini juga yang menginspirasi brand Wonderful Indonesia dengan brand destinasi di daerah-daerah. Boleh beda tagline, boleh beda desain, tapi lima warna dasar logo garuda di Wonderful Indonesia itu harus ada dan tercermin dalam satu keluarga!" ungkap Arief.
Arief lalu menyebutkan contoh Enjoy Jakarta, Stunning Bandung, Java Cultural Wonder untuk Joglosemar, dan Majestic Banyuwangi, sebagai branding yang merujuk konsep beda tapi mirip. Ada juga yang memilih Wonderful Bali, Wonderful Kepri, dan Wonderful Makassar, yang mendekati konsep monolithic.
Lalu, akan ke manakah kita?
"Silakan dijadikan bahan diskusi," tantang Arief.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.