JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dhakiri mengklaim telah menekan angka pengangguran dalam dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Hasilnya, angka pengangguran di Indonesia saat ini diklaim paling rendah pascareformasi.
"Catatan kami, angka pengangguran tahun 2000 itu 6,08 persen. Lalu kemudian naik terus hingga 2006 di angka 10,45 persen dan turun terus hingga tahun ini mencapai 5,50 persen," ujar Hanif di Kantor Kepala Staf Presiden, Jakarta, Senin (24/10/2016) kemarin.
Capaian itu, lanjut Hanif, didasarkan oleh sejumlah faktor. Pertama, derasnya investasi yang masuk ke Indonesia.
(baca: Ahok Berniat Gaji Preman dan Pengangguran Setara UMP)
Hal ini disebabkan sejumlah paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang merangsang masuknya investasi.
Kedua, paradigma ekonomi Indonesia pada era Jokowi-Kalla diubah, dari konsumtif menjadi produktif.
Hal tersebut membuat sinergi antarkementerian/lembaga semakin tinggi sehingga akses masyarakat terhadap lapangan kerja semakin terbuka.
"Karena semakin integratif, perluasan kesempatan kerja lebih tinggi. Akses masyarakat ke pasar kerja menjadi lebih besar," ujar Hanif.
(baca: Boediono: Tantangan Pembangunan ke Depan, Pengangguran Kelompok Muda)
Ketiga, Kemenaker dan kementerian terkait memperkuat masyarakat kelas 'less educated'. Caranya dengan memberikan pendampingan, pelatihan, pembukaan ke akses modal hingga pascaproduksi.
Hal itu agar masyarakat kelas tersebut mampu mendapatkan penghasilan sendiri.
Seiring dengan pencapaian itu, ada pencapaian lain yang menjadi prestasi. Lebih dari tujuh juta lapangan kerja dibuka sejak dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Tahun 2014, sebanyak 2.654.305 lapangan pekerjaan berhasil dibuka. Tahun 2015, sebanyak 2.886.288 lapangan pekerjaan.
(baca: Sri Mulyani Beberkan Masalah Dilematis Penurunan Angka Pengangguran)
Sementara per September 2016, sebanyak 2.232.349 lapangan pekerjaan berhasil dibuka.
"Jadi pada intinya, pemerintah sudah melampaui target membuka dua juta lapangan kerja per tahunnya," ujar Hanif.
Desa lebih baik dari kota
Hanif melanjutkan, sejumlah kebijakan itu nyatanya menguntungkan masyarakat di desa daripada di kota.
Dari sisi akses ke lapangan pekerjaan, masyarakat di desa lebih mudah mendapatkan pekerjaan dibandingkan masyarakat di kota.
"Angkatan kerja yang 'less educated' ternyata lebih banyak terserap ke lapangan kerja. Justru yang lulusan SMA dan perguruan tinggi, masih susah," ujar Hanif.
Persoalannya ada pada ketidakcocokkan antara variasi pasar kerja dengan spesifikasi lulusan lembaga pendidikan.
Misalnya, level kerja seorang lulusan SMEA, yakni sebagai kasir atau tenaga keuangan dan administrasi di sektor UMKM.
Namun, lantaran lulusan SMEA kebanyakan malah tidak terserap ke sana, posisi itu menjadi kosong.
"Ketika enggak ada lagi, andalannya kan berarti S1 Ekonomi atau Akuntansi. Tapi S1 Ekonomi atau Akuntansi enggak mau masuk UMKM. Kalaupun ada yang mau, ya terjadi yang namanya under utilitation pendidikan formal. S1 tapi bekerja di level SMEA," ujar Hanif.
Persoalan ini, lanjut Hanif, tidak dapat diselesaikan kementeriannya seorang diri. Ia terus berkoodinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk mendorong lulusan lembaga pendidikan agar bekerja sesuai dengan levelnya.