Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik Keberadaan Dokumen TPF Munir, Perkara Mudah yang Dibuat Susah?

Kompas.com - 25/10/2016, 09:23 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Polemik keberadaan dokumen penyelidikan tim pencari fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib masih berlanjut.

Sejak Komisi Informasi Pusat (KIP) menyatakan dokumen TPF kasus Munir merupakan informasi publik dan harus diumumkan, pemerintah belum mengambil langkah konkret untuk menjalankan keputusan tersebut.

Bahkan, Kementerian Sekretariat Negara mengaku tidak menyimpan dokumen hasil penyelidikan yang telah diserahkan oleh TPF kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005 lalu.

Presiden Joko Widodo akhirnya memerintahkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo untuk mencari dokumen TPF meski hasilnya nihil hingga saat ini.

Wacana pencarian dokumen terus bergulir bagai bola liar. Pemerintah seakan kebakaran jenggot dan kebingungan.

Ada yang menilai, respons pemerintah merupakan keengganan untuk mengungkap siapa auktor intelektual di balik pembunuhan Munir.

Bahkan, Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono ikut angkat bicara meski langkahnya dinilai tidak terlalu signifikan dan tidak sesuai dengan harapan para pegiat HAM.

(Baca: Polemik Dokumen Laporan TPF Munir, Ini Kata SBY)

SBY pun akan memberikan pernyataan untuk menanggapi polemik ini di kediamannya, Cikeas, Jawa Barat, pada Selasa (25/10/2016) ini.

Perkara mudah

Mantan anggota TPF, Hendardi, menilai, persoalan keberadaan dokumen kasus pembunuhan Munir adalah perkara mudah yang dibuat seakan polemik yang rumit.

"Ini kan persoalan sederhana, tapi kenapa seakan dibuat sulit sehingga membingungkan publik," ujar Hendardi saat dihubungi Kompas.com, Senin (24/10/2016).

Hendardi meragukan alasan pemerintah yang menyatakan tidak memiliki dokumen TPF.

Pasalnya, saat TPF selesai melakukan penyelidikan, ada tujuh berkas laporan yang langsung diserahkan kepada Presiden SBY.

"Tidak mungkin hilang karena TPF dulu menyerahkan hasil laporannya sebanyak tujuh berkas. Masa ya ketujuhnya hilang begitu saja," kata dia.

Hendardi menilai alasan itu dibuat untuk menutupi keengganan pemerintah untuk membuka hasil penyelidikan TPF.

(Baca: Demokrat Minta Jaksa Agung Juga Tanya Megawati soal Kasus Munir)

Sementara itu, berdasarkan Penetapan Kesembilan Keppres Nomor 111 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Munir, maka pemerintah wajib mengumumkan secara resmi hasil penyelidikan kepada masyarakat.

Hilangnya dokumen ini dinilai Hendardi sebagai indikasi buruknya tata kelola administrasi pemerintahan Presiden Jokowi.

"Kemungkinannya ya sama saja antara pemerintahan yang dulu dan sekarang, memang tidak mau membuka kasus ini dengan berbagai alasan. Alasan remeh-temeh seperti hilang itu kemudian digunakan ya karena pada dasarnya tidak mau membuka apa isi dokumen itu," ujar Hendardi.

Aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI dinilainya malas mencari keberadaan dokumen tersebut.

Hendardi mengatakan, alasan tidak memiliki dokumen TPF sangat mudah dipatahkan.

Jika dirunut kembali, setelah TPF menyerahkan hasil dokumen, pihak kepolisian dan kejaksaan sempat melanjutkan proses pengusutan kasus Munir.

Pada 28 Juni 2005, Polri mengerahkan 30 penyidik untuk menuntaskan kasus Munir pasca-penyerahan hasil penyelidikan TPF.

Pollycarpus dijadikan tahanan Kejaksaan Tinggi DKI pada 13 Juli 2005.

Pollycarpus sempat menjalani persidangan sebelum dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan pemalsuan dokumen.

Ia divonis hukuman 14 tahun penjara.

"Pasca-penyerahan dokumen, proses hukum berjalan. Artinya, ada tindak lanjut hasil penyelidikan TPF. Dasar penyidikan dan penuntutan kan pasti dari hasil laporan TPF. Kalau tidak ada, berarti saat itu apa dasar untuk mengadili atau melakukan penuntutan?" papar Hendardi.

KOMPAS.com/Abba Gabrillin Komik berjudul "Mereka Bunuh Munir", karangan Eko Prasetyo dan Terra Bajraghosa. Komik tersebut berisi adegan-adegan pelanggaran hak azasi manusia (HAM), yang pernah terjadi di Indonesia. Salah satu adegan komik juga menceritakan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.

Jokowi gegabah

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri menilai, langkah Presiden Jokowi memerintahkan pencarian dokumen hingga ke luar Istana sebagai langkah yang terburu-buru dan gegabah.

Terlebih lagi, kata Puri, Presiden tidak melakukan koreksi terhadap internal Istana.

Menurut Puri, hilangnya dokumen TPF menunjukkan adanya inkonsistensi administrasi oleh pihak istana.

"Terlepas siapa pun presidennya, administrasi itu adalah kunci sebuah pemerintahan bisa berjalan. Istana adalah simbol birokrasi pemerintahan Indonesia bekerja. Bagaimana dokumen resmi pro-yustisia bisa lenyap?" ujar Puri kepada Kompas.com, Senin (24/10/2016).

Puri menuturkan, polemik keberadaan dokumen TPF kasus Munir sebenarnya tidak perlu terjadi.

Presiden Jokowi bisa menyederhanakan permasalahan dengan melakukan kontak langsung dengan SBY untuk menanyakan keberadaan dokumen tersebut.

Sementara itu, langkah Presiden Jokowi menginstruksikan Jaksa Agung yang seolah-olah ingin memeriksa Presiden SBY menjadi rentan untuk dipolitisasi.

Langkah lainnya bisa ditempuh Presiden untuk melacak hilangnya dokumen dengan menggunakan sistem koreksi internal istana.

"Presiden Widodo sebenarnya bisa menyederhanakan polemik ini dengan mengontak langsung SBY. Hal yang lumrah dilakukan. Presiden Habibie bisa dengan santai berkorespondensi dengan presiden-presiden sebelumnya," kata Puri.

Enggan ungkap laporan TPF

Polemik keberadaan kasus Munir juga memunculkan dugaan lain yang justru akan memperburuk citra Presiden Jokowi pada bidang penegakan hukum dan HAM.

Hendardi menilai, saat ini mulai muncul dugaan bahwa pemerintah sebenarnya enggan untuk mengungkap hasil penyelidikan TPF Munir karena melibatkan nama-nama yang saat ini justru dekat dengan lingkaran kekuasaan.

"Orang-orang yang diungkap di dalam laporan itu untuk ditindaklanjuti bisa jadi masih memiliki hubungan dekat dengan pemerintah, baik yang dulu maupun sekarang. Sehingga membuat langkah pemerintah tidak begitu lugas," ujar Hendardi.

Hal senada juga dikatakan oleh Puri.

Menurut dia, ika Presiden Jokowi benar-benar serius untuk mengungkap siapa pembunuh Munir, maka saat ini adalah waktu yang tepat.

Puri mengatakan, nama-nama yang diduga terlibat dalam kasus Munir dan layak diperiksa adalah orang-orang yang berada di lingkaran pemerintah.

"Mencari di dalam Istana menjadi penting dan signifikan. Mengingat hari-hari ini ada nama-nama yang layak periksa oleh aparat penegak hukum untuk digali informasinya, dan nama-nama itu hari ini berkeliaran dengan mudah di dalam Istana," papar Puri.

Kompas TV Kemana Hilangnya Dokumen TPF Munir?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com