JAKARTA, KOMPAS - Suara Nagiyah (42) bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada 2003 kembali terlintas dalam ingatannya. Suaminya, Harna (37), meninggal dalam peristiwa itu.
Meskipun sudah 13 tahun berlalu, Nagiyah tak bisa melupakan tragedi itu. Saat itu, ia tahu ada ledakan bom di JW Marriott dari tayangan televisi. Ia tidak menduga suaminya yang bekerja sebagai sopir taksi menjadi korban, sampai akhirnya pihak perusahaan tempat suaminya bekerja memberi kabar duka itu.
”Saat itu anak-anak masih kecil, anak pertama (Nisa) berumur 6 tahun, anak kedua (Dini) 5 tahun, dan anak bungsu Fakhri) 1,5 tahun. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan kami selanjutnya,” kata Nagiyah dalam acara yang diadakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Solo, Jawa Tengah, Senin-Selasa (19-20/9).
Christian Salomo, salah satu korban ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, juga masih mengingat peristiwa mengerikan yang menimpanya pada tahun 2004. Akibat ledakan bom itu, ia terluka parah. Tubuhnya mendapat 600 jahitan. Bahkan, hingga sekarang, masih ada pecahan logam tertinggal di dalam kepalanya. ”Saya beruntung bisa selamat,” ujarnya.
Seiring waktu berputar, Nagiyah dan Christian telah kembali bangkit. Mereka yang semula sangat marah kepada para pelaku kini bahkan mampu memaafkan. Bersama para korban bom lainnya, mereka bergabung dalam tim perdamaian AIDA. Direktur Eksekutif AIDA Hasibullah Satrawi menyatakan, ada 21 korban dan 2 mantan kombatan atau pelaku teror bergabung dalam tim kampanye perdamaian AIDA.
Turut bergabung dalam tim, mantan kombatan Ali Fauzi Manzi. Ia adalah alumnus akademi militer Front Pembebasan Islam Moro (MILF) tahun 2004, juga adik Ali Imron dan Amrozi yang dihukum mati karena kasus bom Bali tahun 2002. ”Kami mengajak mereka mengampanyekan perdamaian agar jangan ada lagi teror dan korban yang jatuh,” ujar Hasibullah.
Menurut dia, korban adalah pihak yang merasakan langsung dampak mengerikan terorisme. Ibaratnya, hanya orang yang minum jamu yang tahu pahitnya jamu. Para mantan pelaku teror juga dirangkul untuk menyebarkan pesan perdamaian dan deradikalisasi.
”Kalau sudah korban yang menyampaikan perdamaian, itu dari hati. Ketika mereka menyampaikan pesan-pesan perdamaian masyarakat akan langsung setuju,” katanya.
Sayangnya, pemerintah kurang memberdayakan korban untuk hal ini. Persoalan lainnya, perhatian negara kepada korban terorisme juga lemah. Mereka kerap harus berjuang sendirian melanjutkan kehidupannya. Bantuan justru lebih banyak datang dari swasta bahkan negara lain.
Christian, misalnya, mengaku justru banyak mendapat bantuan untuk pengobatan dari Pemerintah Australia. Nagiyah juga mampu melanjutkan kehidupannya bersama anak-anak dari sumbangan berbagai pihak. Kondisi itu, menurut Hasibullah, terjadi karena lemahnya regulasi terkait hak korban.
Masih mengancam
Saat ini, menurut Ali Fauzi, ancaman teror tetap tinggi meskipun secara kualitas menurun. Regenerasi pelaku terus berjalan melalui penyebaran paham radikal. ”Yang direkrut dari kelompok umur 15-25 tahun. Mereka direkrut lewat dunia pendidikan. Ada sebagian lembaga pendidikan yang dijadikan ajang perekrutan. Perekrutan itu juga dilakukan lewat pengajian rahasia,” katanya.
Perekrutan juga memanfaatkan media sosial. Anak-anak muda yang memiliki pemikiran radikal lebih mudah dipengaruhi untuk direkrut. Mereka dilatih kemampuan dasar militer di pegunungan-pegunungan di pedalaman dalam waktu beberapa minggu.
Metode pelatihan sekarang berbeda dengan yang dijalani kelompok radikal pada era tahun 2000-2009. Ali mengatakan, pada periode 2000-2009 pelatihan dijalani di kamp-kamp MILF di Filipina atau di Afganistan. Dari pelatihan-pelatihan itu, akhirnya memiliki kemampuan matang hingga mampu merakit bom seberat 350 kilogram hingga lebih dari 1 ton yang bisa menewaskan banyak korban. Kemampuan itu kini tidak dimiliki para pelaku yang melancarkan teror kurun 2009- 2016. Meski begitu, ancaman terorisme tetap harus diwaspadai.
Kala teror masih mengancam, para korban kian gigih menyemai benih-benih perdamaian kepada masyarakat.
”Agar apa saya alami tidak menimpa korban lain,” kata Sudarsono, anggota tim perdamaian AIDA yang juga korban bom di Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada 2004. (RWN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian "Kompas" edisi 22 September 2016, di halaman 3 dengan judul "Jangan Ada Lagi Korban"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.