JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya mengatakan, korban prostitusi anak untuk kaum gay bertambah menjadi 148 orang. Sebelumnya, jumlah korban diketahui sebanyak 103 orang. Sebagian berusia di bawah 17 tahun.
"Untuk tersangka masih tiga, tetapi korban kami identifikasi ada tambahan jadi 148 orang," ujar Agung di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (5/9/2016).
Sebanyak 45 anak yang baru diketahui itu merupakan "anak asuh" dari tersangka AR, sementara jumlah korban dari tersangka U diketahui empat orang.
Satu tersangka lain, yakni E, merupakan pengguna jasa sekaligus perekrut yang juga membantu AR menyediakan rekening untuk menampung hasil kejahatannya.
Agung mengatakan, korban rata-rata berasal dari Jawa Barat dan Jakarta.
"Kami terus melakukan penambahan terhadap data ini. Hal lain yang tentunya kami harapkan, penanganannya bisa komprehensif," kata Agung.
(Baca: Ribuan Kondom Ditemukan di Rumah Indekos Pelaku Prostitusi Anak untuk Gay)
Bareskrim Polri menyerahkan proses pemulihan para korban ke Kementerian Sosial yang menyediakan rumah aman bagi mereka. Saat ini, korban yang baru direhabilitasi di rumah aman itu baru tujuh orang. Ketujuh anak itu ikut dibawa saat polisi menangkap AR.
"Mekanisme ada di rumah singgah untuk menjaga anak-anak tetap sekolah," kata Agung.
Sebelumnya, Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengatakan bahwa AR dengan mudah mengajak para korban karena lingkungannya dikelilingi dengan anak-anak usia sekolah.
(Baca: Korban Prostitusi untuk Kaum Gay Capai 103 Orang, Usia 13-23 Tahun)
"Di tempat indekos ini lingkungannya remaja, mereka membuat grup namanya 'Reo Ceper Management'," ujar Ari.
AR mengiming-imingi korbannya dengan tawaran uang yang menggiurkan jika mau ikut "berbisnis" dengannya. Ia menjajakan korbannya melalui akun Facebook bernama "Brondong".
(Baca: Tersangka Prostitusi Kaum Gay Sering Bawa Anak Laki-laki ke Kamar Indekosnya)
Di akun tersebut, AR memajang foto-foto korban dengan keterangan foto berisikan nama dan huruf khusus yang diketahui merupakan sandi. Huruf V menandakan anak tersebut bertindak sebagai perempuan, T bertindak sebagai laki-laki, dan B untuk biseksual.
Tarif setiap anak ditetapkan sebesar Rp 1,2 juta. Dari uang sebanyak itu, tiap-tiap anak hanya menerima Rp 100.000-Rp 150.000 untuk sekali pelayanan singkat.
Dari pengembangannya, polisi menangkap U dan E terkait kasus ini.
Para pelaku terancam pasal berlapis terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.