Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Augustinus Widyaputranto
Pemerhati pendidikan

Pemerhati masalah pendidikan, bekerja sebagai Kepala Bagian Program Development Sekolah Bisnis dan Ekonomi – Universitas Prasetiya Mulya,  Jakarta

“Terima Kasih Telah Berdiri” dari Indonesia Raya

Kompas.com - 31/08/2016, 13:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kalau Anda menonton film di bioskop dalam dua minggu terakhir, Anda pasti akan menyaksikan klip  video lagu kebangsaan Indonesia Raya yang sangat indah dan menyentuh sebelum film dimulai.

Lagu kebangsaan Indonesia Raya yang berdurasi dua menit dalam video ini dinyanyikan dengan sempurna oleh penyanyi cilik Shanna Shannon dan merupakan persembahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71.

Klip video yang juga diunggah di akun Youtube Kemendikbud RI ini kabarnya sejak 17 Agustus 2016 selalu diputar di jaringan bioskop seluruh Indonesia sebelum pertunjukan film dimulai.

Menurut Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kemendikbud hal ini merupakan sebuah bagian dari usaha untuk menumbuhkan karakter cinta Tanah Air dan kebanggaan  menjadi Bangsa Indonesia kepada seluruh masyarakat, dan  khususnya kepada anak-anak Indonesia.

Elemen-elemen dalam klip video ini nampak dirancang secara detil, baik dari aransemen musik, warna suara penyanyi, serta visual video, yang menggugah rasa kebangsaan kita.

Tersirat pula ajakan untuk menghargai lagu Indonesia Raya, dengan bersikap tegak berdiri, dan menghentikan segala aktivitas demi hormat pada lagu kebangsaan negeri yang kita cintai ini.

Ironisnya, ajakan mulia dan terhormat ini kurang mendapat tanggapan dari para penonton bioskop.

Dari pengamatan yang terbatas di bioskop-bioskop di Jakarta dan Bekasi, dapat ditemukan bahwa hampir tidak ada penonton yang tergerak untuk berdiri dari tempat duduknya ketika lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan.

Sebagian besar penonton tetap duduk, mengobrol atau memainkan gadget, dan bahkan sebagian lainnya masih hilir mudik mencari tempat duduk.

Tulisan “Terima Kasih Telah Berdiri” di bagian akhir klip video Indonesia Raya ini seakan sudah tidak ada artinya, karena memang hampir tidak ada yang berdiri penuh hormat.

Perlunya Edukasi dan Pembiasaan

Mungkin fenomena kecil ini hanya menunjukkan bahwa kita kurang diedukasi untuk menghormati lagu kebangsaan.

Atau bisa juga karena di awal klip video ini tidak disertai dengan ajakan eksplisit untuk berdiri baik secara lisan maupun tulisan.

Kita membutuhkan edukasi dan pembiasaan untuk mengekspresikan rasa kebangsaan dan kecintaan kita pada Indonesia.

Undang-Undang no. 24/2009 pasal 62 sebenarnya sudah jelas menyebut bahwa “Setiap orang yang hadir pada saat Lagu Kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat”.

Namun demikian, banyak orang tidak berdiri tegak dan berhenti beraktivitas ketika lagu ini dikumandangkan.

GOH CHAI HIN/AFP Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir melakukan penghormatan kepada Sang Merah Putih saat Indonesia Raya berkumandang di Olimpiade Rio 2016, Rabu (17/8/2016).
Di kesempatan lain bahkan terjadi juga lagu Indonesia Raya berfungsi sebagai pengiring arak-arakan prosesi bendera di awal upacara keagamaan memperingati Hari Kemerdekaan.

Tidak tahu dan tidak tergerak untuk berekspresi dan bersikap yang tepat mungkin menjadi dua hal yang mendasari fenomena ini.

Oleh sebab itu, edukasi dan pembiasaan memang menjadi penting, dan di sinilah peran pendidikan nasional menjadi sangat strategis dan penting.

Kesadaran sebagai Bangsa

Namun di sisi lain, bukan tidak mungkin bahwa fenomena kecil ini sebenarnya sedikit menyingkap fakta bahwa tataran kesadaran kita sehari-hari bukanlah kesadaran sebagai sebuah bangsa, atau kesadaran penuh sebagai seorang warga negara yang bertanggung jawab dan terhormat.

Sebagian besar dari kita faktanya memang tidak tersentuh dan tidak tergerak untuk berdiri penuh hormat ketika mendengar lagu yang merupakan identitas dan pemersatu kita sebagai bangsa.

Lagu yang seharusnya patut dihormati sebagai bentuk ekspresi kecintaan pada bangsa ini ternyata tidak cukup membuat kita dengan kesadaran penuh mengambil sikap hormat: hormat pada bangsa, perjuangannya, dan identitasnya.

Di bioskop, lagu yang dikumandangkan dengan hikmat bersama visual yang inspiratif itu nampaknya hanya diperlakukan sebagai pengisi waktu jeda seperti trailer film pada umumnya.

Kita, sebagai bangsa Indonesia, nampaknya memang tidak terbiasa dengan “militansi” rasa kebangsaan seperti di negara-negara lain, yang begitu mendengar lagu kebangsaannya lalu menghentikan aktivitas, berdiri tegak penuh hormat.

Rasa kebangsaan kita mungkin lebih sering muncul dan terpicu di dalam perselisihan atau sengketa dengan bangsa lain, atau dalam kompetisi olah raga.

Nampaknya hanya pada saat-saat itu banyak orang seolah-olah begitu nasionalis, dan berapi-api menyatakan diri sebagai satu bangsa yang bersatu dan berdaulat.

Apakah perasaan kebangsaan itu baru memang muncul bila kita memiliki “musuh”? Apa jangan-jangan kita adalah bangsa yang kurang bersyukur, dan selalu membutuhkan musuh untuk mencintai bangsa kita sendiri?

Berbangsa: Apakah Masih Relevan?

Kalau memang berbangsa itu masih relevan, maka mungkin pertanyaan besarnya adalah sebagai berikut. Kesadaran macam apakah yang kita miliki setiap harinya sebagai manusia yang hidup di bumi Indonesia?

Apakah hanya kesadaran sebagai mahluk ekonomi yang setiap harinya berhitung dengan untung-rugi dalam dunia kerja, dunia bisnis dan rimba kapital?

Dalam kesadaran yang seperti ini, apapun nama bangsanya, itu tidak bernilai lebih dibandingkan dengan profit finansial dan gaya hidup yang afluen.

Bahkan sangat mungkin orang rela menggadaikan kebanggaan sebagai bangsa demi profit dan gaya hidup. Bukankah ini yang terjadi di sekitar kita?

Apakah kesadaran kita adalah melulu kesadaran sebagai mahluk religius yang agamis, namun yang setiap harinya menggunakan agama untuk memberi pembeda antara “kita dan mereka”, yang menggunakan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok, baik secara politis, sosial dan kekuasaan?

Apakah kita ini mahluk beragama yang lupa menjadi manusia sehingga dengan agama kita justru menindas orang lain yang berbeda dengan kita?

Apakah menjadi beragama berarti kita berhenti menjadi manusia dan berhenti menjadi Indonesia?

Akankah dan bisakah kita, sembari menjadi mahluk ekonomi dan mahluk religius, juga menjadi Indonesia?

Semoga waktu masih mau menjawabnya, dan mungkin hal itu bisa dimulai ketika kita semua mau berdiri penuh hormat setiap kali Indonesia Raya dikumandangkan di mana pun kita mendengarnya dan bahkan meresapkan liriknya di dalam hati kita.

Mungkin dimulai dari situ, pintu-pintu kebaikan di negeri ini akan lebih banyak terbuka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com