JAKARTA, KOMPAS.com - Masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia seolah tak ada habisnya. Titik-titik api di sejumlah kawasan rawan semakin meluas. Beberapa dari para pelaku pembakaran ini sebenarnya sadar akan konsekuensi hukumnya, namun tetap mereka lakukan.
Sebagian lagi tidak paham bahwa pembukaan lahan dengan cara membakarnya diancam pidana.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengatakan, untuk di Riau saja, tahun ini sudah ada 85 tersangka yang dijerat kepolisian setempat. Sementara sembilan perusahaan masih diproses di tingkat penyelidikan.
"Masyarakat kita memang punya kebiasaan untuk melakukan perluasan lahan dan pembukaan lahan dengan cara tradisional. Yang paling mudah dan murah adalah dengan membakar. Ini yang harus terus dilakukan pembinaan oleh kita semua," ujar Ari di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Kamis (25/8/2016).
Perorangan hingga korporasi
Ari menyatakan, tak hanya perorangan saja yang bisa dijerat terkait kasus pembakaran hutan. Bahkan, korporasi yang secara sengaja membuka lahan baru dengan membakarnya pun bisa dijerat pidana. Banyak kasus yang bermula dari penyelidikan perorangan, belakangan diketahui bahwa ada korporasi yang bermain di baliknya.
Berdasarkan data Bareskrim Polri, untuk tahun ini, polisi telah menyidik 366 kasus kebakaran hutan di seluruh wilayah Indonesia. Untuk perorangan, sebanyak 454 orang tengah menjalani proses pidana.
Sementara untuk korporasi, sembilan perusahaan masih diselidiki keterlibatannya. Belakangan, penghentian penyidikan 15 perusahaan di Riau terkait kebakaran hutan menjadi buah bibir.
(Baca: Tahun Ini, 85 Orang Jadi Tersangka Kasus Kebakaran Hutan di Riau)
Menurut Ari, penyidik menilai bahwa perusahaan itu tidak terbukti secara sengaja melakukan pembakaran lahan.
"Data awal, (kebakaran) ada di kawasan perusahaan. Setelah dilakukan penyidikan, ternyata perusahaan itu izinnya sudah habis," kata Ari.
Selain soal izin usaha, kata Ari, ada juga kasus kebakaran hutan yang terjadi di lahan sengketa.
"Ternyata kawasan itu lahan sengketa, jadi bukan milik perusahaan. Jadi perusahaan itu tidak harus bertanggung jawab," lanjut dia.
Presiden Joko Widodo pun meminta Polri mengkaji kembali surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diterbitkan polisi untuk 15 perusahaan yang sempat menjadi tersangka pembakaran hutan dan lahan.
(Baca: Kabareskrim Ungkap Alasan Penghentian Perkara 15 Perusahaan Terkait Kebakaran Hutan)
Sementara itu, Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan, pemerintah dan pihak swasta telah bersinergi mengenai peraturan pembukaan lahan. Jika mereka tetap membakar hutan, maka izin hak guna pakainya akan dicabut.
"Nanti kemudian hari tidak akan dikeluarkan ijin kembali kepada perusahaan, yang kemudian akan melanggar aturan juga akan menimbulkan efek jera. Ini akan diberlakukan kepada pihak swasta juga," kata Puan.
Presiden telah menegaskan bahwa tak boleh lagi ada ijin baru di lahan gambut. Kemudian, lahan yang terbakar tahun lalu, harus diserahkan ke negara. Jika masih saja dibakar, maka ijin pembukaan lahan perusahaan itu hilang secara permanen.
Kurang sosialisasi
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan masih belum memahami bahwa pembakaran lahan melanggar hukum.
Menurut dia, hal tersebut terjadi lantaran kurang meratanya sosialisasi dari pemerintah daerah dan aparat kepolisian di sana.
"Saya mengikuti terus, dan dengan sistem terpadu ternyata terdeteksi ada orang yang tidak ngerti," ujar Siti.
"Apa yang dilakukan tim Polda dan Polres di lapangan itu memang diteliti. Oh, ternyata ada yang belum tersosialisasikan," lanjut dia.
(Baca: Jokowi Minta Kapolri Evaluasi SP3 Kasus 15 Perusahaan yang Disangka Bakar Hutan )
Siti menganggap sosialisasi ini butuh proses, tidak bisa dalam sekejap masyarakat langsung mengerti risiko pembakaran hutan dan lahan. Kementerian LHK, Pemda, dan kepolisian setempat pun membentuk tim yang berkeliling semacam patroli mencari titik-titik api.
Jika menemukan kebakaran, maka langsung dipadamkan dan diusut penyebabnya. Seiring dengan sosialisasi, upaya penindakan hukum dilakukan. Jika dalam pemeriksaan ternyata diketahui orang tersebut tak paham hukum, maka tim terpadu akan melepaskannya dan memberi pengarahan.
"Kalau ternyata ngerti, ada yang nyuruh atau apa, itu langsung diperiksa oleh Polsek," kata Siti.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan enam provinsi di Indonesia sebagai daerah siaga darurat kebakaran hutan. Provinsi yang dimaksud, yakni Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Penetapan tersebut didasarkan pada ramalan cuaca BMKG yang menyatakan daerah-daerah itu akan dilanda kemarau yang cukup panjang. Khusus Sumatera Selatan dan Riau, status darurat kebakaran hutan berlaku sampai Oktober 2016. Sementara provinsi lain belum ditentukan.