Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merdeka Dua Kali

Kompas.com - 13/08/2016, 22:59 WIB

Oleh: Yonky Karman

Dalam obrolan bulan lalu dengan beberapa teman dari lingkungan ASEAN, teman dari Singapura dengan ringan berkata, "Kami merdeka dua kali, baru bisa begini." Saya pun bertanya, "Bagaimana bisa?"

Pada 1963, negeri itu mendeklarasikan kemerdekaannya secara sepihak setelah dijajah Inggris lebih dari 140 tahun.

Sebulan kemudian, kota pulau itu bergabung dengan Federasi Malaysia yang juga memerdekakan diri dari Inggris.

Dua tahun kemudian, Singapura dikeluarkan dari Federasi Malaysia. Dalam kondisi sebagai negeri kecil yang tertinggal, terbentuklah Republik Singapura pada 9 Agustus 1965. Warisan kolonial dalam bentuk infrastruktur dan pranata sosial dipelihara baik.

Selama kepemimpinan otoriter Lee Kuan Yew (1965-1990), Singapura berubah dari negeri dunia ketiga jadi dunia pertama.

Dari negeri yang sama sekali tanpa sumber daya alam menjadi negeri perdagangan dan ramah investasi.

Komoditas dagang apa pun bisa dibeli di sini. Bahkan, Indonesia yang kaya gas alam cair (LNG) juga pernah membelinya dari sana.

Profesional bernegara

Profesional dalam perdagangan dan tata kelola pemerintahan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Singapura dengan skor 85 (peringkat ke-8 dari 167 negara).

Pendapatan rata-rata Singapura pada 2015 sebesar 52.888 dollar AS per kapita per tahun (peringkat ke-6).

Banyak orang kita menyimpan uang dan berinvestasi di sana meski biaya investasinya tinggi. Namun, kepastian hukum memang tidak murah.

Penguasa memerintah dalam arti menguasai dan memberdayakan rakyat. Tak hanya infrastruktur, manusianya juga dibangun.

Singapura memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan skor 0,912 (peringkat ke-11). Manusianya terdidik, berorientasi bisnis, pekerja keras, disiplin, dan taat hukum.

Meski Singapura tidak demokratis, rakyatnya merasa diperlakukan adil dan dimanusiakan. Tindakan represif negara dialami siapa pun begitu terjadi pelanggaran hukum.

Hukuman badan untuk warga AS tetap berlaku kendati ada kritik dari negeri adidaya itu. Kecil tetapi berdaulat penuh,

Indonesia sering dibuat heboh karena pejabatnya tidak cakap mengurus negara. Daripada membenahi birokrasi agar efektif, menteri baru mewacanakan kebijakan baru yang tidak substansial dan hanya mengundang kehebohan yang tidak perlu.

Kejahatan uang palsu yang tergolong subversif, bahkan dengan keterlibatan aparat negara, tak dianggap serius sehingga terus berulang. Demikian juga pemalsuan dokumen kenegaraan (ijazah, STNK).

Kejahatan yang bersifat pribadi meski serius disikapi reaktif dan tak proporsional. Sebelum tuntas di mana akar masalahnya, pejabat yang bukan penegak hukum mengeluarkan berbagai pernyataan dan tuduhan yang justru tambah meresahkan. Padahal, akar masalahnya adalah pengawasan dan kontrol negara yang lemah.

Kekuatan dan efektivitas pembangunan Singapura juga tak lepas dari keberhasilan mengelola kebinekaan.

Tiada tempat kontestasi primordialisme di ruang publik. Tiada toleransi bagi ujaran kebencian.

Politik pecah belah warisan kolonial (divide et impera), yang melemahkan kesatuan bangsa, sejak awal diantisipasi. Tiada politik diskriminatif. Birokrasi tidak dikuasai kelompok tertentu. Bahasa ruang publik adalah kepatuhan kepada hukum dan kontestasi kebaikan sosial.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Erick Thohir pada Pertemuan Prabowo dan Ketum Parpol KIM, Begini Penjelasan Airlangga

Ada Erick Thohir pada Pertemuan Prabowo dan Ketum Parpol KIM, Begini Penjelasan Airlangga

Nasional
Psikolog Forensik: Laporan Visum Sebut Vina dan Eky Mati Tak Wajar, Tak Disebut Korban Pembunuhan

Psikolog Forensik: Laporan Visum Sebut Vina dan Eky Mati Tak Wajar, Tak Disebut Korban Pembunuhan

Nasional
Bamsoet Janji Bakal Hadir pada Sidang Lanjutan MKD soal Isu Amendemen

Bamsoet Janji Bakal Hadir pada Sidang Lanjutan MKD soal Isu Amendemen

Nasional
Calon Penumpang Pesawat Diminta Datang 3 Jam Lebih Awal ke Bandara Imbas Sistem Imigrasi Alami Gangguan

Calon Penumpang Pesawat Diminta Datang 3 Jam Lebih Awal ke Bandara Imbas Sistem Imigrasi Alami Gangguan

Nasional
KY Sebut Tak Terdampak Ganguan PDN

KY Sebut Tak Terdampak Ganguan PDN

Nasional
Prabowo Kumpulkan Ketum Parpol KIM Plus Erick Thohir di Kemenhan, Bahas Apa?

Prabowo Kumpulkan Ketum Parpol KIM Plus Erick Thohir di Kemenhan, Bahas Apa?

Nasional
Polri Hormati Langkah Pihak Pegi Setiawan Ajukan Praperadilan

Polri Hormati Langkah Pihak Pegi Setiawan Ajukan Praperadilan

Nasional
Prabowo Mangkir Panggilan PTUN soal Gugatan Bintang 4, Pilih Hadiri Penyematan Bintang Bhayangkara Utama Polri

Prabowo Mangkir Panggilan PTUN soal Gugatan Bintang 4, Pilih Hadiri Penyematan Bintang Bhayangkara Utama Polri

Nasional
Respons Gerindra dan PAN Saat Golkar Sebut Elektabilitas Ridwan Kamil di Jakarta Menurun

Respons Gerindra dan PAN Saat Golkar Sebut Elektabilitas Ridwan Kamil di Jakarta Menurun

Nasional
Gerindra Tak Paksakan Ridwan Kamil Maju di Pilkada Jakarta

Gerindra Tak Paksakan Ridwan Kamil Maju di Pilkada Jakarta

Nasional
Rangkaian Puncak Haji Berakhir, 295 Jemaah Dibadalkan

Rangkaian Puncak Haji Berakhir, 295 Jemaah Dibadalkan

Nasional
Gerindra: Memang Anies Sudah 'Fix' Maju di Jakarta? Enggak Juga

Gerindra: Memang Anies Sudah "Fix" Maju di Jakarta? Enggak Juga

Nasional
Alasan Polri Beri Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Utama ke Prabowo: Berjasa Besar

Alasan Polri Beri Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Utama ke Prabowo: Berjasa Besar

Nasional
Kuota Tambahan Haji Reguler Dialihkan ke Haji Plus, Gus Muhaimin: Mencederai Rasa Keadilan

Kuota Tambahan Haji Reguler Dialihkan ke Haji Plus, Gus Muhaimin: Mencederai Rasa Keadilan

Nasional
Polri Klaim Penyidik Tak Asal-asalan Tetapkan Pegi Setiawan Jadi Tersangka Pembunuhan 'Vina Cirebon'

Polri Klaim Penyidik Tak Asal-asalan Tetapkan Pegi Setiawan Jadi Tersangka Pembunuhan "Vina Cirebon"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com