JAKARTA, KOMPAS.com - Pegiat antikorupsi mengupayakan audiensi dengan pemerintah sekaligus berkirim surat ke Presiden Joko Widodo terkait penolakan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
"Kami akan audiensi kepada pemerintah dan kirim surat kepada Presiden. Ini (revisi PP 99) kebijakan yang kontraproduktif dengan janji dia (Presiden)," ujar Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia ICW Laola Aester di kantornya, Sabtu (13/8/2016).
Laola mengatakan, revisi PP itu sangat mengistimewakan terpidana perkara korupsi. Sebab, dari ICW, terpidana perkara korupsi sulit mendapatkan remisi, revisi PP itu malah akan mempermudah seorang terpidana koruptor untuk mendapatkan remisi.
Padahal, lanjut Laola, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus diberikan penekanan hukum yang luar biasa pula. Selain soal remisi, ada pula poin revisi yang dianggap 'karpet merah' bagi koruptor, antara lain syarat untuk mendapatkan cuti mengunjungi keluarga, syarat napi korupsi mendapatkan asmilasi dan pelonggaran syarat pembebasan bersyarat bagi napi korupsi.
"Kami menyatakan menolak sejumlah ketentuan revisi yang dinilai menguntungkan koruptor dan merekomendasikan ke pemerintah tetap mempertahankan substansi dalam PP 99, khususnya yang mengatur hak warga binaan dalam perkara korupsi," ujar Laola.
Sebelumnya, Kemenkumham memang berencana merevisi PP itu. Alasan pertama, PP itu dianggap bertentangan dengan Undang -Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Kedua, pembuatan PP itu tidak melalui syarat prosedur formal, salah satunya dikaji pakar terlebih dahulu.
(Baca: Remisi Koruptor Dipermudah)
"Intinya kami harus meletakkan keadilan bagi semuanya. Tapi prosedurnya harus jadi satu. Kedua jangan sampai (PP) itu bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya. Itu saja," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Kamis (11/8/2016).
Hanya saja, Yasonna menolak jika revisi itu disebut jadi 'karpet merah' bagi koruptor untuk bebas lebih cepat. Revisi PP itu mendorong agar prosedur pemberian remisi bagi seluruh narapidana dibuat menjadi satu pintu, yakni melalui Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).
TPP-lah yang nanti menilai berapa remisi yang didapatkan oleh seorang narapidana. TPP terdiri dari orang-orang Kemenkumham, Jaksa Agung, Polri, KPK, ahli psikologi dan sebaginya. Yasonna memastikan, TPP akan tetap ketat dalam pemberian remisi bagi terpidana perkara-perkara 'extraordinary crime', yakni perkara korupsi, terorisme dan kejahatan terhadap perempuan dan anak.
"Ya sudah pastilah (akan mempersulit remisi), namanya juga 'extraordinary crime'. Pastilah itu. Memangnya kami mau akan kasih begitu saja? Memangnya kami ini tukang kasih, kasih?" ujar Yasonna.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.