Sejak Kabinet Kerja dilantik pada 27 Oktober 2015 hingga perombakan pertama pada 12 Agustus 2015, komposisi anggota kabinet diisi oleh kader parpol pendukung pemerintah ditambah dengan kalangan profesional atau nonparpol.
Dalam perombakan kedua pada 27 Juli lalu, terdapat perubahan komposisi yang signifikan dengan masuknya kader PAN dan Golkar.
Komposisi kader dari parpol pun meningkat dari 13 kader parpol pada kabinet kerja jilid I menjadi 14 kader pada kabinet terbaru (27/7). Jumlahnya 5 dari PDI-P, 3 dari PKB, 2 dari Nasdem, dan masing-masing satu dari Hanura, PPP, Golkar, dan PAN.
Masuknya PAN dan Golkar ke kabinet membuktikan bahwa parpol tidak bisa melepaskan diri dari hasrat untuk berkuasa. Merapatnya Golkar dan PAN kepada pemerintah bukanlah sebuah proses yang instan, melainkan melalui manuver politik yang cukup panjang.
Manuver itu biasanya diawali dengan ungkapan simpati terhadap kerja-kerja pemerintah dan pendekatan secara personal atau institusi kepada Presiden ataupun tokoh-tokoh partai pendukung pemerintah.
Manuver Golkar dan PAN ini secara politis memang menguntungkan semua pihak karena mampu meredam gejolak atau kegaduhan antarparpol.
Faktanya, semenjak kedua partai ini menyatakan ingin mendukung pemerintah, dinamika di DPR yang melibatkan tokoh-tokoh parpol relatif berkurang. Konflik justru terlokalisasi ke internal partai sendiri seperti Golkar dan PPP.
Manuver-manuver itu bagi sebagian besar kalangan masih dianggap wajar karena tidak terlampau vulgar dan berada dalam batas etika politik.
Publik pun masih bisa menganggap manuver untuk menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah sebagai langkah yang wajar bagi semua parpol sejauh pernyataan tersebut tidak diikuti dengan tindakan yang atraktif.
Langkah Golkar mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi sebagai calon presiden pada 2019 justru dianggap berlebihan karena terlalu kentara untuk mengejar kekuasaan. Hal ini diungkapkan oleh 49,6 persen responden.
Beberapa manuver politik yang dianggap publik sebagai upaya parpol untuk melanggengkan kekuasaan mereka sempat terlihat ketika pembuatan undang-undang terkait pemilu atau pilkada.
Saat Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada, sejumlah parpol sempat mewacanakan adanya kenaikan syarat dukungan bagi kandidat yang berkompetisi dari jalur perseorangan atau nonparpol.
Sementara di lain, sisi DPR sempat mengusulkan adanya penghapusan kewajiban anggota legislatif untuk mundur saat maju sebagai kandidat dalam pilkada.
Usulan di atas memang gagal diwujudkan. Namun, melalui revisi UU Pilkada, berhasil dimasukkan ketentuan adanya verifikasi faktual terhadap dukungan yang diberikan untuk calon perseorangan. Ketentuan ini ditengarai memberatkan syarat calon perseorangan.
Terlepas dari itu semua, manuver politik parpol berpotensi mengancam kestabilan pemerintah. Pada saat yang sama, pemerintah tetap perlu mencermati aspirasi parpol-parpol yang berseberangan atau mendukung pemerintah.
Dengan pertimbangan itu, publik menerima langkah Presiden Jokowi memasukkan kader Golkar dan PAN ke dalam kabinet sebagai bagian dari upaya yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di tengah apresiasi terhadap kepemimpinannya saat ini. (Sultani/c12/Litbang Kompas)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.